Laman

12 April 2016

KALAU AKU MENCINTAIMU, LANTAS KENAPA?

Kalau aku mencintaimu, lantas kenapa? Toh, ini urusanku.
Tapi, bukan berarti aku ingin kamu cuek dan masa bodoh. Ya, minimal dengan begini kamu sekarang tahu, ada yang berbeda di setiap kebersamaan kita. Mungkin hal ini bisa mempengaruhi tingkah lakumu, atau bahkan merubah penilaianmu tentang kita.

Sepakat atau tidak, kita buktikan saja. Apa pendapatmu?

Kalau ternyata kamu juga menginginkanku, maka bersihkan saja segala gundah masa lalu itu di dadamu. Kita siapkan bahteranya mulai sekarang.
 

Kalau kamu tidak setuju, aku bisa menata ulang pecahan perasaan ini sedikit-sedikit. Dan mungkin butuh waktu agak lama seandainya pecahan itu kecil-kecil.
 

Kalau kamu masih ragu, antara sepakat atau tidak. Biarlah petunjuk itu mengarahkan hatimu. Tak usah buru-buru, resapi saja setiap alurnya dan tanyakan ke hatimu setiap kali ia merasakan getaran.
 
Pada akhirnya, bagaimanapun nanti, itulah skenario paling merdu yang dipilihkan-Nya untuk kita. Akan ada saja takdir luar biasa yang terselip di setiap tarikan napas, entah ketika kamu bangun bersama sejuknya aroma subuh, atau saat terlelap dalam kehangatan di sepertiga malam.
 
Jadi, apa pendapatmu? Jawablah.

- Anggriawan Kingdom -

DIRIKU

Untuk yang tercinta, diriku..

Aku sungguh kagum kepadamu dengan semua kelebihanmu, namun terkadang aku kecewa saat kamu terlalu takut mengambil resiko dari keputusan yang kamu buat.
Tadi saja, kamu membuatku kecewa lagi.

Bukankah kamu selalu berdoa agar situasi itu terjadi? Bukankah tadi Tuhan sudah memberimu kesempatan dengan membuat situasi seperti yang kau inginkan? Sisanya tinggal keputusanmu untuk bertindak. Tapi kenapa kamu justru menyia-nyiakan kesempatan langka itu?
Aku tahu kau bukan penakut. Kau sering membuatku kagum, diriku. Kau bahkan sering melakukan apa yang orang lain pikir tidak mungkin, tapi kau berhasil melakukan itu.

Diriku sayang...
Andai saja kamu tidak terlalu pintar untuk menganalisa, kamu tadi sudah berhasil. Hanya saja kamu banyak melihat ilusi buruk yang belum tentu terjadi.
Ah, diriku, kau tadi sungguh menyebalkan!

Berjanjilah diriku, lain kali kau tidak akan mengecewakanku lagi. Aku menulis ini untukmu semata-mata demi kebaikan kita. Mulai sekarang aku akan selalu menegurmu jika kamu melakukan kesalahan. Ingat, kita tidak terpisahkan.

Dari yang mencintaimu,
Dirimu sendiri.

- Anggriawan Kingdom -

ADA-ADA SAJA HIDUP INI

Ada-ada saja hidup ini...
Bulan lalu kami mengenal bapak itu dengan sebutan "orang besar dan berpengaruh".
Hari ini beliau tinggal dikontrakan yang mau ke toilet pun harus gantian.
Katanya sih, gulung tikar.

Ada-ada saja hidup ini...
Empat tahun kami semua tahu alur percintaan mereka, begitu mesra.
Berjanji menikah akhir tahun nanti.
Hari ini, mereka malah tak lagi saling menyapa.
Ada dendam dan luka di hati masing-masing.
Kabarnya sih, sama-sama egois.

Ada-ada saja hidup ini...
Minggu kemarin kami sempat lari pagi bersama, mengelilingi lapangan bertanah merah.
Kabar semalam mengagetkan sekeluarga. Ia kini terbaring diranjang rumah sakit dengan kain putih yang ditutup dari wajah sampai jempol kaki.
Dengar-dengar sih, kecelakaan motor.

Ada-ada saja hidup ini...

- Anggriawan Kingdom -

17 Maret 2016

NEMBAK? EMANG HARUS?

Memang benar, ini salah satu keindahan. Mungkin mereka tidak pernah menyadarinya. Biar saja. Aku tak ingin membagi pada dunia. Tidak untuk saat ini. Aku ingin untuk tidak berlari. Tidak juga menghampiri. Hanya ingin tetap di sini, dengan senyuman itu setiap hari.

Cengeng!

Tak apa. Kau belum paham. Terserah bagaimana kamu menilainya.
Entahlah, aku sendiri kacau. Kenapa saat itu kamu tiba-tiba menyusup ke dalam kerumunan kami di dalam kelas, saat jam pelajaran masih kosong. Lalu memberi aba-aba yang menjadikan aku salah tingkah.

"Nanti pulang sekolah ke rumahku, yuk!"

Mereka menyambut tawaranmu dengan berseri. Wildan, Adi, Citra, semua kompak. Apalagi Tiara, dia selalu terdepan kalau urusan kumpul-kumpul. Juga Cepi yang segera mengusulkan agar kalian para cewek masak bersama, dan kami para cowok menunggu di ruang tengah rumahmu sambil bermain gitar, atau memantau ke arah depan teras rumah, untuk memastikan sepatu kami tidak ada yang hilang.

"Bagaimana, Dika? Mau kan?" Tanya tiara menunggu persetujuanku.
"Baiklah," jawabku singkat.

Boleh saja ucapan di mulut terdengar ringan, namun dadaku mulai bergetar.

Aku mengintip sela-sela bibirmu. Sial, kau memergokinya! Dengan sekejap, otot di sekitar pipi dan bibir itu langsung kau tarik berlawanan arah, membentuk satu gurat senyum. Ah, aku semakin terpukau. Biasanya aku tak gemar menatap senyummu. Namun kau memulainya. Maka kali ini kucoba membiasakan diri.

Kau segera berlalu meninggalkan kerumunan. Katamu ingin bergegas ke toilet.
"Ikut!" teriak Citra spontan.
Lalu kalian berdua berjalan membelakangi kami. Yang lain sudah kembali membahas obrolan sebelumnya soal ulangan Fisika esok hari. Aku malah masih fokus memperhatikan punggungmu. Serta rambut yang tergerai lurus itu.

Jika saja kemarin malam kau tak mengirimkan pesan itu, aku pun akan bereaksi normal tadi. Jadi sudah pasti, itulah penyebabnya.

"Hey, lagi apa? Tadi kamu keliatan keren loh di depan kelas waktu pelajaran seni musik, hehe. Sayang kerennya mubazir, gak punya pacar sih"

Semula aku bersikap normal. Tentu saja, karena memang tidak ada apa pun di antara kita. Kau dan aku. Jadi apa yang perlu dibahas? Tidak ada yang istimewa sebenarnya. Tiga bulan lalu kita sama-sama menempati kelas baru. Kau berasal dari kelas X-3 dan aku dari X-2. Lalu sekolah memaksa kita terjebak dalam satu kelas, XI IPA 2. Sebenarnya aku pun tidak yakin, mungkin karena kebiasaanku yang mudah berinteraksi dengan orang baru, atau mungkin karena sapaan lembutmu pertama kali  yang berujung dengan acara tukar kontak waktu itu, akhirnya kita pun mulai akrab.

Jelas aku masih ingat, bagaimana ucapanmu yang sedikit berbisik itu mengakhiri obrolan pertama kita.

"Ada nomor HP? Minta dong."

Semuanya sangat datar. Sama sekali tidak ada yang istimewa. Tak ada respons berarti yang kuberikan selain menuliskan nomor pribadiku di handphonemu. Menurutku, ini hanyalah pertemanan yang wajar.

Memang sebelumnya aku sempat mengenalmu saat kita masih sama-sama duduk di kelas X. Tepatnya ketika Wildan bercerita bahwa ada siswi penghuni kelas sebelah yang penampilannya sangat mencolok. Sepatu hitam pekat, jaket kulit robek-robek, juga gaya rambut harajuku yang kontras dengan guratan cat warna merah di ujung poni. Informasi itulah yang kudapat dari sahabatku. Sejak saat itu, Wildan pun sering menyetor cerita lanjutannya tentang keberadaanmu. Dan yang membuatku tergerak untuk mengintaimu adalah kalimat tambahan Wildan yang menggantung di sela-sela pembicaraan kami.

"Gue liat-liat sih.. Anaknya lumayan manis."
 
Pada detik itulah aku mulai penasaran. Perempuan macam apa yang Wildan perhatikan selama ini, sih? 

12 Maret 2016

AKU HANYA BIAN

[CHAPTER 1]


Hari itu sangat panas. Entah cuacanya atau hanya perasaanku saja. Yang jelas saat itu aku sangat berkeringat.

Aku baru ingat sekarang. Saat itu, tahun 2007, bulan Januari, tepatnya hari Rabu, entah tanggal berapa, aku baru saja selesai mengikuti mata pelajaran Penjaskes di SMA.
Di sinilah kisah itu dimulai.

Setelah mengganti kaus olahraga yang berwarna white navy itu dengan seragam putih-abuku yang ngetat, aku mengistirahatkan badanku sambil meminum air mineral gelas yang kupinta dari Maman. Dia sahabat sekelasku sejak kelas 1 sampai sekarang di kelas 3 IPA.

Suasana di kelas masih santai, karena masih ada waktu sekitar dua puluh menit sebelum mata pelajaran selanjutnya dimulai. Aku duduk di bangku siapa saja yang aku suka karena memang belum ada yang menempatinya. Masih pada di luar.

"Yang halaman tiga puluh dua udah dikerjain belum?"
Terdengar salah satu penghuni kelas kami sedang membicarakan PR biologi dengan teman sebangkunya.
"Boro-boro. Soal nomer dua aja aku bingung, apalagi halaman tiga puluh dua," sahut temannya itu.

Dia adalah Mutia. Cewek tinggi langsing, pakai kacamata, dan agak cantik. Rambutnya panjang lumayan pirang, entah dari sananya atau pake cat rambut sachet. Yang aku tahu dia tidak pintar, malah terbilang o'on. Aku serius! Dia penghuni peringkat sepuluh besar terbawah. Iya si Mutia itu.

Mutia adalah wanita yang belum mengerjakan PR. Sedangkan yang tadi bertanya, aku beritahu kamu. Dia adalah pacarku, tepatnya sebulan kemudian. Namanya Syifa. Syifa Aulia. Wanita yang menurutku lucu, ceria, ramah, sopan, dan orang-orang mengakui dia cantik. Apalagi setelah dia menjadi pacarku.

Saat ini aku sedang suka pada Syifa. Kau tahu kenapa? Karena dia wanita. Itu alasan biologisnya. Sedangkan alasan lainnya, aku beritahu saja, karena dia cewek alim, solehah, pakai jilbab. Entah kenapa aku suka. Perlu kau ketahui, aku ini anak nakal dengan prestasi yang baik di sekolah. Bandel tapi pintar (dan narsis). Guru-guru pun sudah memaklumi hal itu. Termasuk guru BK dan Kepala Sekolah.

Aku terkadang menggoda Syifa saat pelajaran berlangsung. Memanfaatkan kebaikan Dedi dan Ardi untuk bertukar bangku, karena bangku Syifa dan Mutia tepat berada di depan bangku mereka. Kadang Dedi yang pindah, dan aku sebangku sama Ardi. Kadang Ardi yang pindah, dan aku sebangku sama Dedi. Mereka pun sahabat-sahabatku dari kelas satu. Seperti Maman juga, Dadan juga, Septo juga. Kami satu geng, sampai dikenal guru sejarah sebagai 'boyband', karena geng kami cukup tenar di sekolah akan kegilaannya, kelucuannya, termasuk kekerenan, dan kegantengan kami. Terutama Ardi, dia yang paling banyak digandrungi wanita. Dari sudut utara sekolah, sampai ujung kantin di selatan. Dari anak kelas 1, 2, 3, sampai guru muda pun tertarik.
Iya, Ardi, aku akui kamu ganteng dan keren, aku di peringkat kedua.

Tidak ada yang tahu aku sedang suka sama Syifa, termasuk Maman, Dedi, Ardi, Dadan, juga Septo. Juga guru sejarah tadi. Aku hanya beberapa kali pernah ngobrol dengan Syifa. Tiga kali pinjam penghapus, satu kali pinjam pulpen dan tidak aku kembalikan sampai tintanya habis. Lalu berkali-kali saat dia menagih uang kas kelas. Syifa adalah bendahara di kelas kami.

Teman-teman boyband-ku juga sering menggoda Syifa, sama sepertiku. Hanya bedanya aku menggoda dia sambil diam-diam menyimpan misi rahasia. Aku pun semakin akrab dengan Syifa, bercanda dan tertawa, walau terkadang dia kesal dan jengkel karena aku sering mengejeknya, tapi dia pun terhibur.

Aku sangat ingat jelas ketika mata pelajaran bahasa Inggris di kelas kami. Saat itu aku dan Ardi duduk di belakang bangku Syifa dan Mutia. Kami sesekali mengganggu mereka dari belakang. Sambil pura-pura menyimak pelajaran, aku sering mengajak Syifa bicara dari belakang, dengan tubuh dan wajahnya tetap menghadap papan tulis, namun sesekali dia menoleh ke belakang sambil tertawa kecil atau sekedar memamerkan senyum lucunya.

"Aku tau sekarang kenapa kamu pake jilbab," kataku mulai bercanda lagi.
Dia menoleh penasaran, "Kenapa?"
"Pasti karena kamu botak, ngaku aja."
"Iiiih, dasar. Rambut aku bagus tau! Makanya sayang kalo dipamer-pamerin," jawabnya dengan nada manja.
"Aku enggak percaya. Coba buktiin," kataku sedikit menantang.
"Yaa ... masa mau dibuka di sini. Enggak boleh," jawab Syifa sambil merapikan jilbabnya yang sebenarnya sudah sangat rapi.
"Lalu, gimana aku bisa percaya?" tanyaku lagi.
"Ntar kapan-kapan kalo kamu kebetulan liat rambut aku, hahaha."
"Kalo lagi di rumah kamu pake kerudung juga?
"Ya enggak lah, masa aku tidur pake jilbab."
"Kalo gitu aku harus ke rumah kamu," ucapku spontan.
"Ih ngapain?"
"Buktiin kalo kamu gak botak."
"Hehehe, dasar."
Dia cuma senyum tanpa memberi jawaban boleh atau tidak. Aku anggap saja senyuman itu mengisyaratkan boleh.
"Pinjem buku kamu sini," lanjutku berbicara saat kurasa Bu Diah, guru bahasa Inggris, kini mendekat ke arah kami berdua.
"Yang mana?" tanya Syifa.
"Yang kamu pegang, cepetan!"

Sejak tadi Bu Diah sudah memantau kami. Dan jika dia tahu aku tidak memperhatikan apa yang sedang dibahas di buku setebal 350 halaman itu, habislah aku. Buku bahasa Inggrisku ketinggalan. Lebih tepatnya sengaja tidak dibawa. Tasku tidak muat. Maklum, aku hanya memakai tas selendang kecil yang cuma muat dua buku tulis, dua LKS yang dilipat horizontal, dan satu buku diariku. Sisanya aku selalu titip ke Maman atau Septo. Itu berlaku untuk semua mata pelajaran, tanpa kecuali.

Benar saja, Bu Diah berjalan menuju meja kami.
"Halaman berapa, Di?" bisikku ke Ardi sambil segera membuka lembaran buku yang aku pinjam tadi.
Bu Diah semakin mendekat.
"Tujuh delapan, Bro," bisik Ardi.
"Bian, buku siapa itu? Buku kamu mana?" tanya Bu Diah sinis saat tiba di hadapanku. Sekarang ia berdiri di sampingku sambil menatap tajam.
Aku senyum kecil untuk ngeles, "Bu-bukunya.. Sy-Syifa, Bu. Punya saya enggak dibawa sama Septo, minggu kemarin dipinjam, belum dikembalikan."
"Benar, Septo?" tanya Bu Diah mengonfirmasi alasanku.
Septo jelas-jelas mendengar kebohonganku karena dia berada di samping bangkuku dan Ardi.
"Enggak, Bu. Kenapa nyalahin aku, Yan?"
Ah Septo, awas kau! Kugunduli habis rambut keritingmu nanti. Aku kira kau akan membelaku.
Aku memalingkan muka dari tatapan Bu Diah, sebelum mata tajamnya menyorotku lagi.
"Halaman tujuh delapan kan, Bu. Ini saya sedang memperhatikan." Aku mencoba mengalihkan perhatian Bu Diah. Wanita tua berkacamata dan berjilbab itu menggelengkan kepala menghadapi kelakuanku.
"Lain kali, kamu..."
"Iya, Bu. Iya... Lain kali saya bakal ngingetin Septo jangan lupa ngembaliin buku saya. Mari kita lanjutkan pelajarannya, Bu."
Lagi-lagi ibu guru itu menggeleng kesal. Akhirnya Bu Diah mengalah sambil menghela napas dan kembali ke depan kelas. Teman-temanku tertawa cekikikan, termasuk Syifa. Dia terus tertawa sambil senyum melihatku. Kupandang wajahnya, aku pun tersenyum lalu tertawa.

Aku mengembalikan buku Syifa setelah jam pelajaran selesai. Tadi itu pelajaran terakhir di hari Kamis ini.
"Nih, buku kamu. Hati-hati nyimpennya."
"Kok hati-hati?" Syifa kebingungan, keningnya mengerut.
"Hati-hati entar dipinjem Septo, ga bakal dibalikin."
"Hahaha, dasar. Kamu ya, lempar batu sembunyi tangan. Temen sendiri difitnah. Gak boleh gitu."
Kupasang wajah sok tegas untuk membela diri. "Aku cuma ngetes solidaritasnya aja, ternyata dia pengkhianat. Dia dipihak Bu Diah."
"Makanya ... bawa buku. Jangan bandel," kata Syifa memperingatkanku.
"Oh iya, bukunya tadi aku coret nama kamunya terus aku ganti pakai nama aku. Aku panik."
"Eh, dasar nyebelin. Mau ngaku buku ini milik kamu gitu?"
"Tadinya sih begitu," jawabku.
"Terus kenapa gak jadi?"
"Hal yang bersangkutan dengan kamu, aku harus jujur."
Sesaat Syifa terdiam. "Mmm... Kenapa?
Kuambil tas kecilku lalu bangkit hendak meninggalkan Syifa. Setelahnya aku berkata dengan datar. "Kamu bakal tau nanti malem."
Kulangkahkan kaki dan berjalan menuju pintu kelas. Meninggalkan Syifa yang mungkin masih penasaran. Ia mencoba memanggilku terus-menerus.
"Hey, mau kemana ih? Kok nanti malem? Biaaaan! Hey!"

Kuabaikan suaranya dan terus berjalan menjauh, biar keliatan keren. Para boyband pasti sudah berada di luar gerbang sekolah menungguku. Aku pun segera menyusul mereka.

Kau tidak tahu. Sebenarnya aku coret nama Syifa Aulia di buku itu dan kuganti dengan nama Rayya Albian, lalu dibawahnya kutulis deretan angka : 085222145146. Itu nomor HP-ku. Aku yakin malam ini Syifa pasti menghubungiku. Kita tunggu saja.

[CHAPTER 2]


Hari Jumat. Batik menguasai seluruh penjuru sekolah. Selesai menyimak pelajaran kimia favoritku, aku dan Maman beranjak ke toilet. Bukan untuk buang air kecil. Kami lebih sering menggunakan toilet sebagai tempat untuk memperbaiki penampilan. Merapikan pakaian, membasahi rambut, dan bercermin. Semua orang ingin terlihat menarik bukan? Tidak cuma perempuan.

Aku dan Maman kembali ke kelas setelah membeli beberapa cemilan dari kantin. Hari ini aku sebangku dengan Dedi. Kau pasti tahu maksudku. Tentu saja untuk bisa berdekatan dengan Syifa.

"Tadi malem sibuk banget ya?" tanya Syifa saat aku kembali ke tempat duduk.
Suara lembut itu menghentikan gerakan mulutku yang sedang mengunyah keripik pedas.
"Jadi yang semalem SMS itu kamu?" kataku berpura-pura. "Gak sibuk sih cuma lagi enggak punya pulsa."
"Oh, kirain lagi sibuk."
"Aku kira kamu bakal nelepon," ucapku kemudian.
"Ih ngapain? Masa cewek yang nelepon."
"Emang HP cewek gak ada fitur panggilan keluarnya?" kataku polos.
"Hehehe, bukan gitu. Yaa malu aja."
"Malu kayak kucing"
"Hehe, tapi kucing kan lucu."
"Kamu suka kucing?" tanyaku.
"Iya, kamu?"
"Nggak."
"Kenapa?"
"Kucingnya yang suka sama aku."
"Hahaha, dasar Bian."

Tadi malam, seperti yang sudah kuduga. Syifa mengirim SMS ke nomor yang aku tulis kemarin di buku bahasa Inggrisnya :

"Malem Bian, lagi ngapain nih?"

Aku sengaja abaikan SMS itu. Dan beberapa menit kemudian SMS berikutnya masuk :

"Kamu lagi sibuk ya? Yaudah kalo gitu ntar aja di sekolah ngobrolnya."

Bagiku, ini salah satu sinyal kalau Syifa mengizinkanku untuk mendekatinya. Atau... Ini sinyal yang berarti aku harus mengizinkannya untuk mendekatiku. Aku lebih suka kemungkinan yang kedua.

Pelajaran selanjutnya dimulai, dan semua murid di kelas sangat senang. Kau tahu kenapa? Kabarnya, Pak Suryono guru matematika kami tidak bisa hadir. Beliau hanya memberikan amanat untuk kami mengisi LKS halaman 24 dan 25 soal latihan pilihan ganda nomor satu sampai tiga puluh.

Ah, aku selalu menyukai ini. Pikiranku langsung berkata, "Ini waktu yang tepat untukku lebih dekat dengat Syifa. Soal matematikanya urusan belakangan. Lagian cuma pilihan ganda, dua menit juga selesai. Nyalin punya Maman."

Kubuka sebuah percakapan yang langsung disambut oleh kerutan di dahi Syifa.
"Syifa, kamu suka bawa dompet ke sekolah?"
"Dompet?" tanyanya heran.
"Aku bukan jambret, kan? Santai aja."
"Bawa, emang kenapa?"
"Aku tebak, pasti kamu suka nyelipin kertas kecil di dompet, semacam catatan pribadi."
"Mmm, sok tau. Enggak ada tuh."
"Kita liat."

Syifa membuka tasnya dan mengambil dompet berukuran kecil warna putih bermotif bunga-bunga.
"Paling yang ada di dompet aku cuma ... uang ... foto... Itukan benda yang pasti ada dompet. Enggak ada yang aneh kok."
"Masa sih? Coba liat di sebelah sini kamu nyimpen apa aja.
Aku mencabut satu benda yang terselip di dompetnya.
"Nah, kok cuma ini? KTP, Kartu Tanda Pelajar."
"Ah, jangan diliat! Malu..." Syifa spontan menarik tanganku yang masih memegang kartu identitas itu. Tapi gerakan tanganku lebih cepat. KTP itu sudah berpindah dari tangan kananku yang tengah dicengkram Syifa ke tangan kiri.
"Tunggu dulu. Aku liat bentar," kataku membujuk.
Ia pun berhenti dari usahanya. Kuamati benda tipis itu sambil memasang raut seperti orang keheranan dengan sesekali menoleh ke arah Syifa.
"Kenapa? Muka aku disitu beda ya?"
Memang, semua orang pasti bertanya seperti itu jika ada yang sedang mengamati kartu identitasnya, terutama wanita. Padahal aku cuma berpura-pura. Aku sama sekali tidak sedang mengamati wajahnya di KTP. Tapi justru sedang menghafal tulisan di kolom tempat tanggal lahir : 21 Februari 1991.

Kukembalikan KTP-nya sambil berkomentar, "Iya beda, muka kamu di sini keliatan lebih muda."
"Maksudnya? Yang aslinya tua gitu?" timpalnya tidak puas dengan komentarku barusan.
"Enggak sih..." jawabku kemudian.
Kuputar sedikit badanku sehingga benar-benar berhadapan lurus dengannya. Perlahan kudekatkan mulutku ke telinganya dan berbisik, "Cuma keriputnya banyak."

PLAKK!! Satu pukulan keras mendarat di bahu kananku. Syifa memukulku sambil cemberut, namun  dibarengi senyum manisnya sedetik kemudian. Ah, ini sinyal berikutnya! Pukulan dari wanita seperti itu bukanlah sebuah kemarahan. Justru itu adalah tanda dari ketertarikannya. Memang wanita secara tidak sadar akan memukul, mencubit, atau mungkin menjambak pria yang sedang menggodanya jika dia senang dengan hal itu. Coba saja tanyakan kepada ibumu saat dia masih muda.

Misi pun berhasil. Sekarang aku tahu ulang tahun Syifa, 21 Februari.
Tunggu, 21 Februari? Astaga, lima hari lagi. Kebetulan sekali. Setidaknya aku sudah tahu hari spesial itu meskipun aku belum memiliki ide apa pun untuk menyiapkan kejutan di hari itu, tepatnya hari Rabu depan.

[BERSAMBUNG]

- Anggriawan Kingdom -

INI BUKAN KARMA

"Kau lihat pasangan kekasih di sebrang meja sana?"

"Ya, kenapa dengan mereka?"

"Aku iri pada mereka!"

"Memang kelihatannya mereka sangat serasi."

"Benar sekali. Jimmy, apa hidupmu bahagia sekarang?"

"Tentu saja, dan aku sangat berterimakasih padamu."

"Berterimakasih? Padaku?"

"Ada yang salah?"

"Kau bilang berterimakasih padaku? Setelah aku menghancurkan mimpimu? Setelah aku menghabiskan kekayaanmu hinggu kau bangkrut? Setelah aku meninggalkanmu saat kau berniat menikahiku dan aku pergi dengan pria lain? Setelah aku menyakitimu dengan sesakit-sakitnya? Kau masih berterimakasih pada wanita yang hina ini?"

"Kau wanita yang memberiku pelajaran berharga, Ann. Sebenarnya apa maksudmu menemuiku di tempat ini setelah tiga tahun kau menghilang dari hidupku?"

"Maafkan aku, Jimmy. Maaf, maaf, maaf!"

"Tenangkan dirimu. Jus mangga itu menunggu untuk diminum. Kau tidak mungkin mencampakkan minuman favoritmu itu, kan? Setelahnya, kau boleh menceritakan maksud pertemuan kita."

"Menurutmu, apakah ini karma yang kuterima setelah menghancurkan hidup seorang pria baik hati sepertimu?"

"Kau berlebihan. Aku tak sebaik itu, Anna. Aku akan mendengarkan apa pun yang akan kau ceritakan."

"Karierku sudah hancur, Jimmy. Pria yang dulu membawaku ke dunia modeling ternyata seorang bajingan. Entah bagaimana aku mengucapkannya padamu. Dialah yang membuatku memeras kekayaanmu, agar aku bisa menjadi seorang top model. Bajingan itulah yang membuatku meninggalkanmu. Dia menjanjikan karier yang gemilang untukku. Dia pun merebut hatiku dan berjanji menikahiku setelah aku memberikan semua yang ia minta. Tapi akhirnya..."

"Aku turut bersedih, Anna. Ini, pakailah, pipimu basah."

"Terima kasih. Setelah ia mendapatkan semuanya dariku, ternyata wanita lain menggantikan posisiku. Aku yakin wanita itu korban selanjutnya."

"Lalu?"

"Aku ditendang dari karierku yang sedang berada di puncak kesuksesan. Bajingan itu bisa mengontrol semuanya. Sekarang aku hancur, Jimmy."

"Kukira kini kau sudah bahagia."

"Setelah aku jatuh miskin karena kehilangan predikat top model itu, ibuku meninggal. Tepatnya sebulan setelah kejadian itu. Ayahku pergi meninggalkan rumah, ia kini punya keluarga baru. Aku benar-benar sendiri, Jimmy."

"Separah itukah?"

"Itulah yang membawaku mencari keberadaanmu sekarang. Aku rasa semua kehancuran ini karena apa yang kulakukan padamu dulu. Aku mencarimu untuk mendapatkan kata maafmu, Jimmy. Kuharap itu bisa menghentikan karma ini."

"Aku sudah memaafkanmu, Ann."

"Semudah itu? Aku mungkin harus memohon-mohon, meraung, dan berlutut di hadapanmu untuk sebuah kata maaf."

"Tak perlu seperti itu. Mungkin memang hidupku hancur karena kekhilafanmu. Namun ada yang menyuruhku untuk tetap bersabar dan bersyukur atas semua yang kualami."

"Bersabar? Bersyukur? Tidak mungkin di saat seperti itu. Kenapa kau bisa melakukannya?"

"Aku percaya perintah itu, aku hanya melakukannya. Bersabar dan bersyukur. Setelah keterpurukan itu, aku kembali bangkit menata hidup baru, tanpamu. Kini aku memetik buahnya. Perusahaan baruku mulai melebarkan sayap, aku menemukan istri yang sangat kucintai dan mencintaiku, serta memiliki buah hati yang sangat kami sayangi."

"Aku benar-benar menyesal, Jimmy. Kini kau telah bahagia. Sekali lagi aku minta maaf. Tapi, kau tadi bilang perintah? Ada yang menyuruhmu?"

"Kau tidak salah mendengar, Ann. Aku melakukan apa yang Dia katakan. Dan kau bisa lihat sekarang, Ann. Aku benar-benar bahagia, kuharap ini tidak menyinggung perasaanmu."

"Aku harap aku pun bisa menata kembali hidupku. Bisakah kau membantuku? Pertemukan aku dengan dia yang sudah memberi semangat untukmu itu. Bisakah kau mengenalkannya padaku? Siapa dia, Jimmy?"

"Dia adalah Tuhanku, kurasa kau pun mengenal-Nya, Anna. Bukankah Dia juga memerintahkan kepadamu apa yang Dia peritahkan kepadaku? Dia yang menyuruh kita bersabar dan bersyukur dalam situasi apa pun."

"Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. Aku benar-benar sudah melupakan-Nya. Aku sudah begitu jauh dengan-Nya. Apakah Dia mau memaafkanku jika aku mencoba memperbaiki kesalahanku?"

"Tentu saja, Ann. Itulah mengapa aku bisa memaafkanmu dan berterimakasih padamu. Dia pun Maha Pemaaf, Dia pun Maha Mengasihi."

"Terima kasih, Jimmy. Setidaknya, aku sedikit lebih lega. Bolehkah aku meminta tolong padamu? Agar aku bisa kembali mendekatkan diri dengan-Nya sekaligus menebus semua kesalahanku yang sudah lalu."

"Dengan senang hati, Ann. Apa yang bisa kubantu?"

"Nikahi aku, Jimmy. Kumohon!"

SELESAI 

- Anggriawan Kingdom -

DIA DI MANA?


Ya Tuhan, kenapa lama sekali. Biasanya tidak seperti ini. Aku kenal betul kekasihku. Dia orang yang sangat menghargai waktu. Tapi, ini sudah lewat 48 menit dari waktu yang kita sepakati, pukul 20:00. Apa jamku terlalu cepat? Mustahil, ini memang pukul 20:48.
Apa ada sesuatu yang harus dia rencanakan sebelum kita bertemu dan belum selesai dikerjakannya? Memangnya apa yang akan dia bicarakan malam ini sih?

Oh Tuhan, semua membuatku tegang. Nada bicaranya ditelepon tadi siang sepertinya tidak ramah. Cobaku ingat lagi. Ya aku masih ingat jelas perkataannya di telepon tadi siang, "Bisakah kita bertemu di tempat biasa malam ini? Ada hal serius yang ingin aku bicarakan, Sayang."
Sangat terdengar nada bicaranya lesu. Apakah dia akan mengatakan bahwa hubungan kita berakhir? Ah, jangan ya Tuhan. Aku sangat mencintainya. Kau tahu perasaanku kan Tuhan? Lagipula mana mungkin dia tiba-tiba memutuskan hubungan kami berdua. Tadi kan dia masih memanggilku dengan panggilan 'sayang'. Jelas sekali, aku yakin bukan itu yang akan dia bicarakan.

Atau mungkin dia akan memberiku kejutan dengan berkata, "Maukah kau menikah denganku, Sayang?". Ya bisa saja, dia melamarku malam ini, dia benar-benar memenuhi keinginan terbesarku.
Ya Tuhan, aku jadi nervous. Bagaimana cara menjawab lamaran yang baik ya? Biar aku terlihat seperti wanita dewasa.
"Tentu saja, Sayang. Aku mau. Itu yang kutunggu selama ini."
Ah, tidak. Itu terlalu bertele-tele dan kekanak-kananan. Bagaimana kalau, "Dengan senang hati, Sayang." Ya sederhana dan cukup berwibawa.
Tapi rasanya tidak romantis ya? Ah jangan kalau begitu.

Ayolah, kenapa belum datang juga, ya Tuhan? Tolonglah, Tuhan. Doronglah dia agar sampai ke sini secepatnya dan juga beritahu dia kalau aku sudah menunggunya sejak 48 menit yang lalu.

Apa aku salah membaca pesannya?
Mungkin bukan pukul 20:00, tapi pukul 21:00. Coba aku cek lagi kotak masukku. Ah, aku harus mengambil handphone-ku.
Hey, kenapa aku tidak langsung meneleponnya saja? Dengan begitu aku bisa tahu kenapa aku sampai menunggu hampir satu jam. Tapi bagaimana kalau dia masih sibuk? Dan akhirnya dia marah karena aku dinilai sebagai wanita yang tidak sabaran. Tapi aku kan kekasihnya. Aku berhak menghubunginya saat dia terlambat datang pada janji pertemuan kami.

Ya aku harus meneleponnya. Kemudian setelah dia mengangkat panggilanku, aku akan marah padanya karena dia membiarkanku menunggu begitu lama. Aku akan membentaknya dan memaki-maki dia hingga dia meminta maaf padaku dengan nada memelas. Kemudian dia menjelaskan alasan yang tidak akan aku dengar dan aku akan menutup teleponnya. Hingga dia menelepon balik dan bilang kalau dia akan sampai lima menit lagi. Itu akan membuatku lega.

Tapi, bisa saja dia malah balik memarahiku dan dia bilang aku adalah wanita yang egois yang tidak bisa mengerti keadaannya saat itu kemudian langsung mengucapkan kata-kata kalau hubungan kami berakhir, tanpa ia sempat datang menemui janji pertemuan kita.

Ya Tuhan, itu buruk sekali. Aku tak mau itu terjadi. Sebaiknya aku jangan meneleponnya. Iya aku tidak akan melakukan itu, kok. Jadi jangan biarkan kami putus ya Tuhan.

Bagaimana kalau aku sedikit membuang waktu dengan mengecek lagi penampilanku? Mungkin saja ada bagian kecil dari penampilanku yang masih terlihat kurang sempurna dan mungkin bisa membuatnya tidak suka. Coba kuperiksa lagi. Bedakku tidak terlalu tebal, kan? Kurasa cukup. Bagaimana dengan pakaianku? Sepertinya pakaian ini membuatku terlihat gemuk. Ah tidak, tidak, motifnya kan tidak melebar. Lagipula dia suka warna birunya. Katanya aku lebih cantik dengan warna biru.

Ah aku masih kurang percaya diri. Sepertinya aku harus pergi ke toilet untuk bercermin. Tapi bagaimana kalau dia datang dan menemukan meja tempat kita janjian kosong? Baiklah, aku tidak boleh beranjak dari meja ini. Aku harus tetap menunggunya.Tetap menunggunya.

Tuhan, Kau tahu tidak apa yang akan dia bicarakan malam ini? Aku benar-benar tidak tahu, Tuhan. Kalau Kau tahu, ayolah beritahu aku. Aku sangat penasaran. Katanya Kau serba tahu, tapi kenapa Kau tidak mau memberitahu aku? Kau membenciku, Tuhan? Apa alasannya? Aku kan wanita baik-baik. Ayolah Tuhan, jangan pelit. Beritahu sedikit saja apa yang akan kekasihku bicarakan malam ini.

Aku tak bisa menebak-nebak maksud dari "hal serius" itu apa? Sungguh aku tak bisa menebaknya.
Apa mungkin dia akan melamarku? Itu kan pembicaraan serius. Atau dia mau kami putus, itu juga hal serius. Tapi mana mungkin dia tiba-tiba memutuskanku? Apa mungkin karena minggu lalu aku tidak sengaja memecahkan vas bunga antik kesayangannya? Tapi itu kan tidak sengaja. Lagi pula dia sudah memaafkan hal itu.

Atau mungkin karena masakanku yang terlalu asin saat aku mengundang dia beserta ibunya makan malam bersama di rumahku? Bisa saja. Dia mungkin menganggap kalau wanita yang tidak pandai memasakitu  tidak cocok menjadi seorang istri baginya.

Atau mungkin dia punya selingkuhan!
Dia punya wanita lain yang selama ini dia sembunyikan, dan wanita itu pandai memasak. Kenapa aku tidak terpikir ke situ? Mungkin dia terlambat menemuiku karena sedang bermesraan dengan wanita lain. Hingga dia lupa kalau dia ada janji denganku malam ini.

Aku harus menemui wanita tidak tahu diri itu, lalu menjambak rambutnya keras-keras dan memperingatinya supaya menjauhi kekasihku. Kemudian mengancam akan membunuhnya jika dia masih gatal mendekati kekasihku. Ya, aku harus menemuinya!

Tapi ... aku tidak tahu di mana mereka sekarang.

Ya Tuhan, benarkan kekasihku selingkuh? Dia kan pria baik dan setia. Apa aku kurang cantik sampai dia harus mencari wanita lain? Bukannya dia sering bilang kalau aku cantik? Mungkin beribu-ribu kali kalau kuhitung. Aku memang cantik kan, Tuhan? Menurut-Mu aku cantik tidak? Kau kan yang menciptakanku.

Huh! Aku benar-benar bosan menunggu seperti ini. Sudah pukul 20:50 dia belum juga datang.
"Ada hal serius yang ingin aku bicarakan, Sayang."
Hal serius apa ya? Menikah? Putus?
Bagaimana kalau aku coba mengulang dua kata itu sampai dia datang. Sehingga waktu tidak akan terasa lama. Menikah... Putus... Menikah... Putus... Menikah... Putus... Menikah... Putus... Menikah... Putus... Menikah... Putus... Menikah... Putus... Menikah... Putus...

Ah, aku tidak mau putus!

Kenapa aku berhenti? Aku harus terus lakukan ini sampai dia datang. Ya, sampai dia benar-benar datang. Menikah... Putus... Menikah... Putus... Menikah... Putus... Menikah... Putus... Menikah... Putus... Menikah... Putus... Menikah... Putus... Menikah... Putus... Menikah... Putus... Menikah... Putus... Menikah... Putus... Menikah... Putus...

SELESAI

- Anggriawan Kingdom -

MENIKAH




1

PROLOG



Baiklah, cukup! Saatnya aku menyusun rencana kehidupanku di masa depan. Aku jenuh. Hidupku membosankan. Bangun, makan, tidur. Setiap hari hanya menunggu perubahan yang aku sendiri tidak pernah memulai untuk melakukannya.

Semenjak lulus kuliah, aku hanya mengurung diri di rumah. Menjadi putri keraton. Sebenarnya aku punya impian, namun aku terlalu takut untuk mewujudkannya. Bagi diriku, impian terbesar seorang wanita hanyalah melihat anak-anaknya tumbuh dan tersenyum disertai kasih sayang seorang suami yang terus setia sampai akhir hayat. Ya, aku mendambakan kehidupan berumahtangga. Cukup itu saja. Apalagi?

Memang aku bisa dibilang wanita yang idealis. Mungkin karena nama yang dipilihkan kakekku. Anita. Kakek memberikan nama itu dua puluh tiga tahun yang lalu. Aku terkadang sulit untuk dinasihati. Setelah kemarin lulus kuliah, orangtuaku menyuruhku untuk meneruskan S2, namun aku menolak. S1 saja cukup. Itu pun terpaksa, karena aku tidak ingin mengecewakan mereka dengan tidak masuk kuliah. Menurutku, kenapa seorang wanita harus sekolah tinggi-tinggi? Toh, pada akhirnya kami para wanita akan kembali ke dapur, mengurusi anak-anak, dan menjadi ibu rumah tangga yang diharapkan suaminya. Walau zaman sekarang sudah tidak seperti itu, tapi bagiku tetap saja hakikat wanita sebagai pendamping, bukan tulang punggung!

Dulu, saat aku masih kuliah, hidupku seru, banyak teman. Banyak tempat untuk berbagi. Untuk bermain, bercanda, dan bercerita. Sekarang teman-teman kuliahku sudah menghilang. Beberapa dari mereka sudah bekerja di luar kota, beberapa hilang kontak, dan sebagian lainnya sudah menikah.

Setidaknya aku masih punya Aldi, pria yang dua tahun lalu menyatakan cintanya kepadaku. Dia baik, dan selalu memberikan apa yang aku mau—walau terkadang dia tidak bisa memahami apa yang aku inginkan. Ayahnya direktur sebuah bank swasta terbesar di Indonesia. Itu juga yang menjadi alasan kenapa ia bisa memberikan apa pun yang aku mau. Namun aku tidak tahu, apakah ia adalah jodohku? Apakah ia yang akan meminangku suatu hari nanti? Aku sendiri pun ragu.



***



Suatu hari, pamanku dari Bogor datang ke rumahku bersama putrinya, namanya Lulu. Sepupuku ini baru saja mendaftarkan diri ke Universitas Negeri Bandung. Kedatangan mereka ke sini adalah untuk menitipkan Lulu. Katanya Lulu akan tinggal bersama kami selama kuliah. Karena kampusnya dekat dengan rumah kami, di daerah Dago Bandung.

Ibu dan ayah banyak bercerita kepada paman tentang diriku yang sedang jenuh dan tidak mempunyai kegiatan setelah lulus kuliah. Ayah terkadang mengeluhkan keputusanku yang tidak mau melanjutkan kuliah ke jenjang S2. Sampai akhirnya paman menyarankan agar aku bekerja di restoran miliknya sebagai kepala kasir, mengingat jurusanku adalah akuntansi. Restoran itu berada di daerah Jalan Surapati, Bandung. Tujuh tahun lalu sebelum menjadi warga Bogor, paman sempat membuka sebuah restoran di sini. Sekarang nama restoran ini sudah terkenal di Bandung. Aku pun sering mengunjungi tempat itu bersama Aldi.

Singkat cerita, aku pun bersedia bekerja di sana. Kupikir mungkin itu bisa membuang kejenuhan. Daripada aku mati bosan di rumah. Setidaknya, aku punya rutinitas baru. Aku pun mulai bekerja. Beberapa minggu berlalu seperti ini, mungkin beberapa bulan. Duduk di meja kasir, memegang uang, melihat kerumunan orang makan dan minum, dan sesekali melihat pasangan kekasih yang sedang bertengkar. Ternyata dugaanku salah. Ini tidak jauh membosankannya dengan kejenuhan di rumah.



2

HARI KESATU



Sudah dua bulan berlalu aku bekerja di tempat ini, tepatnya dua bulan sebelas hari. Waktu yang cukup untuk beradaptasi dengan lingkungan baru. Aku sudah mempunyai beberapa teman di sini. Kebanyakan yang aku kenal justru laki-laki. Mereka mungkin sedang mencoba mendekatiku (ini naluri wanita). Para lelaki itu memang agak urakan, tapi untungnya tidak ada yang berani tidak sopan padaku. Mungkin karena aku berhijab, dan tidak terlihat sebagai ‘cewek murahan’. Pakaian yang kupakai saat bekerja selalu sopan dan tertutup, dandananku pun tidak berlebihan. Cukup terlihat segar dan tidak kusut saja. Yang penting wangi, bersih, dan menutup aurat. Lagipula aku di sini bukan untuk cari perhatian.

Pernah sekali saat aku baru seminggu kerja di sini, restoran baru saja tutup. Saat jam pulang, aku melihat seorang pegawai pria yang menawari seorang wanita untuk diantar pulang. Aku baru saja mengenal wanita itu tadi sore, namanya Rani. Dia adalah salah seorang kasir di restoran ini. Pria itu mengajak Rani naik ke motornya, dan Rani menolaknya dengan sopan. Namun pria itu malah memaksa dan mencoba menarik tangan Rani dengan kasar. Rani semakin menolak. Pria itu malah berusaha makin keras, menarik tubuh Rani, dan mencoba menyentuh bagian dada Rani. Rani menjerit, seketika pria itu kabur sambil memaki dan mengatakan Rani cewek sok alim.

Memang penampilan Rani begitu menggoda syahwat lelaki. Pakaian yang selalu ketat dengan tak jarang memakai rok mini. Itu sudah bisa menjadi alasan yang cukup kenapa Rani menjadi objek pelecehan para pria—walau baru satu pria aku melihatnya. Minimal, itu menjadi pelajaran bagi Rani juga bagi diriku untuk semakin memperbaiki penampilan, sehingga tidak menjadi objek pelecehan para ‘pria haus’ macam itu. 



***



Nanti malem aku sedikit telat jemput kamu, maaf ya..

Sebuah pesan singkat di layar ponsel baru saja kubaca, itu dari Aldi. Tumben, dia sekarang mementingkan nasabahnya, biasanya aku yang lebih ia prioritaskan. Hari ini dia sedang mengurusi nasabah yang tidak tahu kapan habisnya. Tak apalah, aku harus kembali bekerja.

Saat ini aku sedang duduk santai menunggu datangnya para pengunjung yang kelaparan. Sore hari di restoran ini tidak terlalu ramai seperti jam makan siang atau makan malam, jadi aku tidak terlalu disibukkan oleh pengunjung. Sistem restoran ini cukup unik, tidak seperti restoran pada umumnya yang dilayani langsung oleh para waiter dan waitress. Pengunjung dipersilakan mengambil buku menu dan menuliskan sendiri pesanannya di kertas pesanan, kemudian memberikan kertas pesanannya ke kasir dan langsung dibayar saat itu juga. Setelah itu barulah menu yang dipesannya diantar ke meja. Jadi bukan memakai sistem naik angkot. naik dulu baru bayar. Di sini para pengunjung bayar dulu, baru makan.

Dalam kebosananku, datanglah dua orang pengunjung yang menghampiriku lalu memesan makanan. Seorang bapak tua yang kritis, ditemani oleh istrinya. Aku akui mereka menyebalkan. Bagaimana tidak, mereka datang langsung ke kasir kemudian mendikte semua pesanannya kepadaku. Ditambah lagi, banyak yang bapak itu tanyakan soal menu yang kami sediakan. Lebih parah dari itu, mereka menimbang-nimbang harga masing-masing menu yang tidak begitu jauh perbedaannya. Kurasa bapak ini terlihat seperti orang yang berkelebihan uang, kenapa masih memikirkan harga?

Akhirnya mereka pun pergi setelah puas mengoceh di depanku kurang lebih sepuluh menit. Di belakang sudah ada seorang pria yang antre dan langsung mengambil gilirannya.

“Kesal ya?”

“Eh, silakan, Mas.”

Ternyata dari tadi pria ini mengamatiku saat menghadapi dua pengunjung menyebalkan itu.

Dia langsung menyodorkan daftar pesanannya tanpa berkata apa-apa. Aku pun membacakan ulang daftar pesanannya.

“Es lemon tea satu, es campur satu? Ada lagi, Mas?”

“Udah itu saja dulu.”

Ia kemudian menyambung kalimatnya. “Menyebalkan ya, kalau ada pengunjung yang kritis bertanya soal menu, minta dijelasin secara detail.”

Dia mulai membahas lagi soal bapak tadi. Aku hanya senyum. Kuberikan bon pesanannya dan mengucapkan terima kasih. Namun pria itu diam, dan melihat bon pesanannya dengan ekspresi yang aneh.

“A-ni-ta…”

Lagi-lagi aku senyum. “Itu nama saya, Mas”

“Oh, oke, Anita.”

Pria itu meninggalkan meja kasir dan pergi ke tempat duduknya. Kulihat di sana ada seorang pria yang sedang menunggunya.

Jadi, di bon pesanan itu tertera jam, nomor meja, nama kasir, dan daftar pesanan. Pria itu membaca secara detail termasuk nama Anita yang tertera disana. Ada-ada saja pengunjung restoran ini pikirku. Aku kembali duduk dan menikmati kebosanan sore itu di depan meja kasir.

Dua puluh menit menit kemudian, seorang pria datang menghampiriku. Aku lihat sepintas pria itu membawa secarik kertas pesanan, namun ternyata dia bukan ingin memesan menu. Tapi justru mengajukan komplain secara sopan, kalau pesanan es campurnya belum juga datang. Disitu aku tersadar kalau pria ini adalah teman pria tadi yang membaca namaku di bon pesanannya. Setelah aku meyakinkan bahwa pesanannya akan segera dicek, pria itu menyodorkan kertas yang dari tadi ia bawa.

“Sekalian, ada titipan dari seseorang.”

Lagi-lagi aku tersenyum, yang ini kurasa terpaksa, lalu pria itu pun kembali ke mejanya.

Kuambil kertas itu dan kubaca. Isinya adalah deretan angka yang membentuk sebuah nomor telepon tanpa nama. Aku langsung tahu, pasti ini nomor handphone pria tadi yang tahu namaku dari bon pesanan. Sedikit terbersit rasa heran. Tapi hanya sedikit, dan itu cukup membuat aku penasaran. Entah kenapa, aku jadi deg-degan. Apa maksud pria itu memberikan nomor handphone-nya? Ah, yang pasti hanya keusilan seorang pria terhadap wanita. Klasik.

Tapi aku penasaran. Kucoba memandangi pria itu dari tempat dudukku. Aku bisa melihatnya duduk bersama si pembawa pesan tadi. Mejanya sejajar lurus dengan pandanganku dari sini. Kupandangi pria itu. Penampilannya biasa saja, juga tidak terlalu tampan. Tapi saat tadi ia memesan minumannya, gaya bicaranya cukup menarik. Tenang dan suaranya berat.

Jangan langsung berpikir bahwa aku genit. Tolong dengarkan dulu alasanku. Pria dengan cara berbicara yang tenang dan intonasi suara yang nyaman didengar, memang selalu menarik bagi wanita. Lebih menarik dari pria yang hanya sekedar mengandalkan tampang atau mobil pemberian orangtua. Aku harap ini cukup untuk membuatmu mengubah pemikiran kalau aku berniat selingkuh dari Aldi. Tidak akan pernah. Aku wanita yang sangat setia.

Kulanjutkan kesibukanku, merapikan bon dan data keuangan. Aku hampir saja lupa, karena kejadian tadi, hampir saja aku melewatkan salat ashar. Aku pun berdiri dari kursi kair berniat untuk pergi ke mushola.

Sial, aku tidang sengaja memandang ke arah meja itu. Ya, pria tadi. Ia kini melambaikan tangannya ke arahku, seperti orang yang meminta tolong. Aku sedikit kaget, aku takut ia tahu kalau beberapa saat tadi aku baru saja mengamatinya. Semoga dugaanku salah.

Kuhampiri mejanya dengan maksud sebagai kasir yang dimintai tolong oleh pengunjungnya, tidak lebih. Tidak ada maksud lain, walaupun aku sedikit nervous.

“Kenapa, Mas?”

“Ini pesanan saya…”

Pasti pria ini mau mengajukan komplain lagi gara-gara es campurnya yang belum juga datang. Tapi sebelum selesai ia berbicara, seorang waiter datang membawa es campur dan meletakkannya di meja itu. Dalam hati aku merasa lega.

Seketika ia meneruskan perkataannya yang terputus, “Pesanan saya … es campur … kelihatan enak, dan manis.”

Aku menahan tawa, sambil melihat ekspresi wajahnya saat mengucap kata-kata yang spontan ia katakan. Aku menggeleng sambil tersenyum. Kubalikan badanku dan berniat ke mushola. Tapi sebelum aku berlalu, ia sempat berkata lagi, “… manis seperti Anita.”

Aku tertegun sejenak, untung saja aku sudah berbalik membelakangi mereka. Kuteruskan langkah kakiku sambil me-rewind perkataan terakhir pria itu di kepalaku.

Siapa sih pria itu? Dia bilang aku manis?

Memang bukan kali pertama aku dibilang manis oleh pria asing yang tidak kukenal. Hanya saja kali ini berbeda, entah apa yang membedakannya, aku sendiri tidak tahu, yang jelas berbeda. Ada sesuatu yang aku rasakan saat mendengar kata itu keluar dari mulutnya. Memang aneh, tapi ya sudahlah.

Aku harus bergegas ke mushola, waktu salat ashar sudah semakin sempit. Kuturuni beberapa anak tangga menuju lantai bawah. Karena meja kasirku berada di lantai atas, jadi aku harus sedikit berolahraga untuk sampai ke mushola.

Restoran ini luas, bisa menampung lebih dari 300 orang. Konsep suasana alam yang dipakai restoran ini membuat pemandangan terlihat sejuk, dikelilingi banyak tanaman berwarna hijau dan bunga-bunga segar warna-warni. Kursi dan mejanya terbuat dari kayu, dan dicat coklat, sehingga terasa begitu alami. Di lantai bawah ada kurang lebih 50 meja untuk empat orang, berjajar dua baris membentuk huruf ‘L’, ditambah 5 meja lesehan dibagian tengah yang dibuat seperti tenda-tenda, cukup untuk sepuluh orang. Di lantai atas ada sekitar 25 meja yang tersusun rapi membentuk huruf ‘U’. Suasana restoran ini memang cocok untuk tempat berkumpul keluarga ataupun berpacaran. Ditambah lampu remang-remang yang diiringi lagu-lagu lembut baik lokal maupun mancanegara yang selalu up to date untuk diputar sepanjang hari. Memang tepat pamanku memberi nama restoran ini ‘Restoran Pohon Hijau’.

Aku selesai menunaikan salat ashar dan langsung kembali ke meja kerjaku di lantai atas. Sambil berjalan menuju kursi, sejenak aku melirik meja yang tadi di tempati si pria misterius. Ah, kenapa aku jadi terus memantau dia?

Kulihat, meja itu sekarang penuh dengan para pria seumurannya yang berpenampilan casual. Kalau aku tebak, mungkin usia  mereka sekitar 22 sampai 25 tahun. Mereka begitu serius berbincang, seperti sedang mempersiapkan strategi perang. Kuamati percakapan mereka, dan kulihat si misterius mendominasi percakapan, layaknya seorang komandan yang memberi arahan kepada para pasukannya.



***



Waktu beranjak cepat. Sudah masuk jam maghrib. Aku pun mengulangi ritual ibadah seperti yang kulakukan tadi di waktu ashar. Termasuk, ritual olahraga naik turun tangga. Setelahnya, kulihat ke arah depan restoran, lahan parkir semakin sesak. Mobil dan motor mulai berdatangan. Waktu makan malam segera tiba. Aku pun bersiap kembali ke meja kasir.

Sesekali aku menerima dan menghitung uang para pengunjung yang mulai ramai di waktu makan malam. Beberapa lama aku seperti itu. Kulihat jam tanganku, sekarang sudah pukul 20.00. Aldi belum juga memberi kabar. Apa dia tidak akan menjemputku malam ini? Mana mungkin.

Aku benar-benar kaget ketika tiba-tiba pria misterius itu sudah berdiri di depan wilayah kerjaku tanpa kusadari. Dia menyapaku, sambil merapatkan kedua telapak tangannya lalu diletakkan di depan dadanya. Dia bermaksud ingin memberi salam kepadaku. Tentu saja tidak ada lagi yang bisa aku lakukan selain melempar senyum. Lagi-lagi senyum seorang kasir, tapi kali ini ditambah rasa gugup.

“Anita, boleh minta waktunya sebentar?”

Aku semakin gugup, bingung untuk menjawab pertanyaannya.

Kucoba mengendalikan diri, dan dengan santai kujawab, “Ya, kenapa?”

Aah, maafkan aku. Ini kesalahan di luar kesadaran. Seharusnya aku berkata, “Maaf, saya sedang sibuk.”

Si misterius itu melanjutkan ucapannya.

“Mungkin ini sedikit sulit, tapi baiklah akan kucoba. Bismillahirahmanirrahim. Anita … kamu wanita paling cantik yang pernah aku lihat.”

DEG! Walaupun sudah kuduga dia akan berkata sesuatu yang menunjukkan ketertarikannya, tetap saja aku kaget. Aku tidak sampai menduga kalau pria ini akan secara frontal mengatakan aku wanita paling cantik. Aku hanya bisa diam. Dia kemudian meneruskan perkataannya.

“Aku ingin mengenal kamu, dan aku tidak mau kita lost contact. Jadi silakan hubungi aku saat kamu mengingat momen ini. Simpan nomor tadi baik-baik.”

Begitu santainya ia berbicara, seolah tidak ada beban atau ketakutan akan respon buruk yang mungkin akan aku lontarkan. Ekspresinya mukanya datar, tapi sorot matanya begitu tajam. Membuat aku semakin gugup. Suaranya begitu jelas, lancar, dan tenang, tidak terdengar bergetar atau grogi. Biasanya, para pria yang memujiku atau mencoba mengajakku berkenalan selalu terlihat gugup, suaranya kecil, juga terbata-bata. Tidak ketinggalan pandangan mereka yang menunduk atau loncat ke sana ke mari tanpa fokus.

Tapi ini lain. Dia benar-benar berbeda dari kebanyakan pria yang akui temui. Kedua matanya fokus menatap tajam tepat ke arah kedua mataku. Entah bagaimana dia bisa melakukan semua hal itu. Ya Tuhan, aku harus menjawab apa? Aku serasa menerima sihir yang melumpuhkan sistem syaraf motorik di seluruh organ tubuhku.

Untungnya sistem autopilot dalam otakku berfungsi normal. Sehingga aku bisa secara otomatis merespon perkataannya.

“Maaf, Mas, lain kali saja. Terima kasih atas kunjungannya ke restoran ini.”

Aneh! Pria ini memang aneh. Mendengar penolakkanku, wajahnya tetap datar, tidak ada kekecewaan tersirat diraut wajahnya. Dia masih tetap memandang mataku dengan sorotnya yang tajam.

“Aku yakin, suatu saat kamu akan menghubungiku. Sampai bertemu, Anita.”

Dia berbalik dan mengambil langkah untuk meninggalkanku yang masih tertegun dengan ucapannya.

Sebentar, serangan ini belum selesai. Sebelum aku sempat meresapi apa yang baru saja aku rasakan beberapa detik tadi, ia kembali membuatku kaget dengan membalikkan badannya dan menghampiriku lagi.

“Oh ya, satu lagi. Ada titipan salam dari Fiona Azmi dan Muhammad Rizal.”

Spontan aku melipat kening bersamaan dengan kedua alisku yang merapat. Sama sekali aku tak mengenal kedua nama itu. Kuabaikan saja ucapannya tanpa menjawab satu kata pun.

Pria itu kembali meneruskan perkataannya.

“Mereka … calon anak-anak kita.”

JLEB! Tubuhku serasa terkena tombak. Dadaku bergetar seolah terkena sengatan listrik bertegangan tinggi. Aku shock, sungguh. Dengan sangat perlahan aku mengangkat pandanganku. Saat tubuhku mematung, ia berlalu dan menghilang dari pandanganku.



***



Jam sepuluh tepat. Restoran sudah tutup dan Aldi sudah berada di depan restoran untuk menjemputku. Selama dua puluh menit di perjalanan pulang, Aldi bercerita tentang nasabahnya yang ramah dan suka bercanda. Ia sesekali mengajakku tertawa, namun aku hanya senyum dan sedikit berbicara. Sampai tiba di rumah, Aldi pamit untuk langsung pulang dan menyarankanku untuk segera beristirahat.

Standar memang. Entah sudah berapa ribu kali dalam berpacaran, seorang kekasih mengingatkan jangan lupa makan dan jangan tidur terlalu malam, yang diakhiri dengan panggilan sayang. Memang ini bagian yang membosankan dari seorang Aldi. Namun terkadang aku pun membutuhkan ucapan seperti itu. Ya, wanita … memang terkadang bingung sendiri tentang apa yang ia inginkan.

Aku segera masuk rumah. Di sini aku tinggal bersama Ayah, Ibu, dan sepupuku Lulu yang beberapa waktu lalu resmi menjadi penghuni rumah ini. Di kamar, aku kembali mengingat kejadian tadi sore di restoran tentang pria misterius itu. Ucapan terakhirnya masih terngiang di telinga. Amat sangat jelas.

“Ada titipan salam dari Fiona Azmi dan Muhammad Rizal. Mereka, calon anak-anak kita.”

Beberapa menit aku terus memikirkan ucapan itu, sampai perhatianku teralih ketika pintu kamarku diketuk dari luar.

“Kak, udah tidur belum?”

Itu Lulu. Kupersilahkan dia masuk. Mungkin itu bisa membuat pikiranku terhenti membayangkan pria misterius tadi sore. Dia langsung menyambar guling yang tergeletak di sampingku.

“Kak, tahu nggak, tadi dikampus ada lelaki ngajak aku kenalan. Katanya dia udah lama merhatiin aku tapi baru sekarang dia berani ngajak kenalan. Namanya Ronald, ya lumayan ganteng sih, Kak.”

“Terus, respon kamu gimana?”

“Ya aku sih welcome aja, Kak. Lagian enggak ada salahnya kan nambah kenalan. Urusan dia suka sama aku atau aku suka sama dia itu urusan belakangan. Yang jelas, aku ingin tahu dulu lelaki itu orangnya seperti apa. Tapi kayaknya dia orangnya baik, Kak, ramah gitu.”

“Kamu yakin ngasih kesempatan sama orang yang tiba-tiba ngajak kenalan gitu? Enggak takut kalau mungkin dia ada maksud buruk sama kamu?”

“Ya enggaklah, Kak. Kalaupun nantinya ternyata dia punya maksud buruk, ya aku bisa langsung berhenti ngenal dia dan jauhin dia kan. Kakak ini ah, parno.”

“Terus, dia ngasih nomer HP-nya enggak?”

“Enggak sih, tapi dia yang minta nomer aku. Katanya tadi dia bakal hubungi aku. Tapi aku tungguin sampai sekarang belum ada tuh. Aku yakin, dia pasti bingung mau mulai hubungi aku dengan cara gimana. Atau dia masih ngumpulin nyali. Hehe. Yah, palingan besok ketemu lagi di kampus. Eh, Kakak sendiri gimana hari ini kerjanya? Ada yang seru enggak?”

“Eh, ah, engga. Engga ada kok. Ya biasa aja gitu.”

“Ada laki-laki yang deketin Kakak ya? Hayoh ngaku.”

“Kamu ini. Enggak ada kok, ya mereka tahu kan Kakak suka diantar jemput sama Aldi, jadi mereka tahu kalau Kakak punya pacar.”

“Iya juga sih ya. Yaudah, Kak, aku ke kamar ya. Mau langsung tidur. Nanti aku cerita lagi deh tentang Ronald. Selamat tidur, Kakak.”

Apalagi ini? Kenapa kebetulan sekali dengan yang aku alami hari ini? Tapi sedikitnya Lulu benar, bagaimana aku bisa menilai orang sebelum aku mengenalnya. Tapi ya sudahlah, mungkin pria misterius itu hanya cowok iseng yang suka bikin sensasi. Lagi pula kecil sekali kemungkinan aku bisa bertemu lagi dengannya. Semoga besok jadi hari yang menyenangkan, tidak seperti tadi. Aku tidur saja.

[BERSAMBUNG] 

- Anggriawan Kingdom -