1
PROLOG
Baiklah,
cukup! Saatnya aku menyusun rencana kehidupanku di masa depan. Aku jenuh.
Hidupku membosankan. Bangun, makan, tidur. Setiap hari hanya menunggu perubahan
yang aku sendiri tidak pernah memulai untuk melakukannya.
Semenjak
lulus kuliah, aku hanya mengurung diri di rumah. Menjadi putri keraton. Sebenarnya
aku punya impian, namun aku terlalu takut untuk mewujudkannya. Bagi diriku,
impian terbesar seorang wanita hanyalah melihat anak-anaknya tumbuh dan
tersenyum disertai kasih sayang seorang suami yang terus setia sampai akhir
hayat. Ya, aku mendambakan kehidupan berumahtangga. Cukup itu saja. Apalagi?
Memang
aku bisa dibilang wanita yang idealis. Mungkin karena nama yang dipilihkan
kakekku. Anita. Kakek memberikan nama itu dua puluh tiga tahun yang lalu. Aku
terkadang sulit untuk dinasihati. Setelah kemarin lulus kuliah, orangtuaku
menyuruhku untuk meneruskan S2, namun aku menolak. S1 saja cukup. Itu pun
terpaksa, karena aku tidak ingin mengecewakan mereka dengan tidak masuk kuliah.
Menurutku, kenapa seorang wanita harus sekolah tinggi-tinggi? Toh, pada
akhirnya kami para wanita akan kembali ke dapur, mengurusi anak-anak, dan
menjadi ibu rumah tangga yang diharapkan suaminya. Walau zaman sekarang sudah
tidak seperti itu, tapi bagiku tetap saja hakikat wanita sebagai pendamping,
bukan tulang punggung!
Dulu,
saat aku masih kuliah, hidupku seru, banyak teman. Banyak tempat untuk berbagi.
Untuk bermain, bercanda, dan bercerita. Sekarang teman-teman kuliahku sudah
menghilang. Beberapa dari mereka sudah bekerja di luar kota, beberapa hilang
kontak, dan sebagian lainnya sudah menikah.
Setidaknya
aku masih punya Aldi, pria yang dua tahun lalu menyatakan cintanya kepadaku.
Dia baik, dan selalu memberikan apa yang aku mau—walau terkadang dia tidak bisa
memahami apa yang aku inginkan. Ayahnya direktur sebuah bank swasta terbesar di
Indonesia. Itu juga yang menjadi alasan kenapa ia bisa memberikan apa pun yang
aku mau. Namun aku tidak tahu, apakah ia adalah jodohku? Apakah ia yang akan
meminangku suatu hari nanti? Aku sendiri pun ragu.
***
Suatu
hari, pamanku dari Bogor datang ke rumahku bersama putrinya, namanya Lulu.
Sepupuku ini baru saja mendaftarkan diri ke Universitas Negeri Bandung.
Kedatangan mereka ke sini adalah untuk menitipkan Lulu. Katanya Lulu akan
tinggal bersama kami selama kuliah. Karena kampusnya dekat dengan rumah kami,
di daerah Dago Bandung.
Ibu
dan ayah banyak bercerita kepada paman tentang diriku yang sedang jenuh dan
tidak mempunyai kegiatan setelah lulus kuliah. Ayah terkadang mengeluhkan
keputusanku yang tidak mau melanjutkan kuliah ke jenjang S2. Sampai akhirnya
paman menyarankan agar aku bekerja di restoran miliknya sebagai kepala kasir,
mengingat jurusanku adalah akuntansi. Restoran itu berada di daerah Jalan
Surapati, Bandung. Tujuh tahun lalu sebelum menjadi warga Bogor, paman sempat
membuka sebuah restoran di sini. Sekarang nama restoran ini sudah terkenal di
Bandung. Aku pun sering mengunjungi tempat itu bersama Aldi.
Singkat
cerita, aku pun bersedia bekerja di sana. Kupikir mungkin itu bisa membuang kejenuhan.
Daripada aku mati bosan di rumah. Setidaknya, aku punya rutinitas baru. Aku pun
mulai bekerja. Beberapa minggu berlalu seperti ini, mungkin beberapa bulan.
Duduk di meja kasir, memegang uang, melihat kerumunan orang makan dan minum,
dan sesekali melihat pasangan kekasih yang sedang bertengkar. Ternyata dugaanku
salah. Ini tidak jauh membosankannya dengan kejenuhan di rumah.
2
HARI
KESATU
Sudah
dua bulan berlalu aku bekerja di tempat ini, tepatnya dua bulan sebelas hari.
Waktu yang cukup untuk beradaptasi dengan lingkungan baru. Aku sudah mempunyai
beberapa teman di sini. Kebanyakan yang aku kenal justru laki-laki. Mereka
mungkin sedang mencoba mendekatiku (ini naluri wanita). Para lelaki itu memang
agak urakan, tapi untungnya tidak ada yang berani tidak sopan padaku. Mungkin
karena aku berhijab, dan tidak terlihat sebagai ‘cewek murahan’. Pakaian yang
kupakai saat bekerja selalu sopan dan tertutup, dandananku pun tidak
berlebihan. Cukup terlihat segar dan tidak kusut saja. Yang penting wangi,
bersih, dan menutup aurat. Lagipula aku di sini bukan untuk cari perhatian.
Pernah
sekali saat aku baru seminggu kerja di sini, restoran baru saja tutup. Saat jam
pulang, aku melihat seorang pegawai pria yang menawari seorang wanita untuk
diantar pulang. Aku baru saja mengenal wanita itu tadi sore, namanya Rani. Dia
adalah salah seorang kasir di restoran ini. Pria itu mengajak Rani naik ke
motornya, dan Rani menolaknya dengan sopan. Namun pria itu malah memaksa dan
mencoba menarik tangan Rani dengan kasar. Rani semakin menolak. Pria itu malah
berusaha makin keras, menarik tubuh Rani, dan mencoba menyentuh bagian dada
Rani. Rani menjerit, seketika pria itu kabur sambil memaki dan mengatakan Rani
cewek sok alim.
Memang
penampilan Rani begitu menggoda syahwat lelaki. Pakaian yang selalu ketat
dengan tak jarang memakai rok mini. Itu sudah bisa menjadi alasan yang cukup
kenapa Rani menjadi objek pelecehan para pria—walau baru satu pria aku
melihatnya. Minimal, itu menjadi pelajaran bagi Rani juga bagi diriku untuk
semakin memperbaiki penampilan, sehingga tidak menjadi objek pelecehan para
‘pria haus’ macam
itu.
***
Nanti malem aku sedikit telat jemput kamu,
maaf ya..
Sebuah
pesan singkat di layar ponsel baru saja kubaca, itu dari Aldi. Tumben, dia sekarang
mementingkan nasabahnya, biasanya aku yang lebih ia prioritaskan. Hari ini dia
sedang mengurusi nasabah yang tidak tahu kapan habisnya. Tak apalah, aku harus
kembali bekerja.
Saat
ini aku sedang duduk santai menunggu datangnya para pengunjung yang kelaparan.
Sore hari di restoran ini tidak terlalu ramai seperti jam makan siang atau
makan malam, jadi aku tidak terlalu disibukkan oleh pengunjung. Sistem restoran
ini cukup unik, tidak seperti restoran pada umumnya yang dilayani langsung oleh
para waiter dan waitress. Pengunjung dipersilakan mengambil buku menu dan
menuliskan sendiri pesanannya di kertas pesanan, kemudian memberikan kertas
pesanannya ke kasir dan langsung dibayar saat itu juga. Setelah itu barulah
menu yang dipesannya diantar ke meja. Jadi bukan memakai sistem naik angkot.
naik dulu baru bayar. Di sini para pengunjung bayar dulu, baru makan.
Dalam
kebosananku, datanglah dua orang pengunjung yang menghampiriku lalu memesan
makanan. Seorang bapak tua yang kritis, ditemani oleh istrinya. Aku akui mereka
menyebalkan. Bagaimana tidak, mereka datang langsung ke kasir kemudian mendikte
semua pesanannya kepadaku. Ditambah lagi, banyak yang bapak itu tanyakan soal
menu yang kami sediakan. Lebih parah dari itu, mereka menimbang-nimbang harga
masing-masing menu yang tidak begitu jauh perbedaannya. Kurasa bapak ini
terlihat seperti orang yang berkelebihan uang, kenapa masih memikirkan harga?
Akhirnya
mereka pun pergi setelah puas mengoceh di depanku kurang lebih sepuluh menit.
Di belakang sudah ada seorang pria yang antre dan langsung mengambil gilirannya.
“Kesal
ya?”
“Eh,
silakan, Mas.”
Ternyata
dari tadi pria ini mengamatiku saat menghadapi dua pengunjung menyebalkan itu.
Dia
langsung menyodorkan daftar pesanannya tanpa berkata apa-apa. Aku pun membacakan
ulang daftar pesanannya.
“Es
lemon tea satu, es campur satu? Ada lagi, Mas?”
“Udah
itu saja dulu.”
Ia
kemudian menyambung kalimatnya. “Menyebalkan ya, kalau ada pengunjung yang
kritis bertanya soal menu, minta dijelasin secara detail.”
Dia
mulai membahas lagi soal bapak tadi. Aku hanya senyum. Kuberikan bon pesanannya
dan mengucapkan terima kasih. Namun pria itu diam, dan melihat bon pesanannya
dengan ekspresi yang aneh.
“A-ni-ta…”
Lagi-lagi
aku senyum. “Itu nama saya, Mas”
“Oh,
oke, Anita.”
Pria
itu meninggalkan meja kasir dan pergi ke tempat duduknya. Kulihat di sana ada
seorang pria yang sedang menunggunya.
Jadi,
di bon pesanan itu tertera jam, nomor meja, nama kasir, dan daftar pesanan.
Pria itu membaca secara detail termasuk nama Anita yang tertera disana. Ada-ada
saja pengunjung restoran ini pikirku. Aku kembali duduk dan menikmati kebosanan
sore itu di depan meja kasir.
Dua
puluh menit menit kemudian, seorang pria datang menghampiriku. Aku lihat
sepintas pria itu membawa secarik kertas pesanan, namun ternyata dia bukan
ingin memesan menu. Tapi justru mengajukan komplain secara sopan, kalau pesanan
es campurnya belum juga datang. Disitu aku tersadar kalau pria ini adalah teman
pria tadi yang membaca namaku di bon pesanannya. Setelah aku meyakinkan bahwa
pesanannya akan segera dicek, pria itu menyodorkan kertas yang dari tadi ia
bawa.
“Sekalian,
ada titipan dari seseorang.”
Lagi-lagi
aku tersenyum, yang ini kurasa terpaksa, lalu pria itu pun kembali ke mejanya.
Kuambil
kertas itu dan kubaca. Isinya adalah deretan angka yang membentuk sebuah nomor
telepon tanpa nama. Aku langsung tahu, pasti ini nomor handphone pria
tadi yang tahu namaku dari bon pesanan. Sedikit terbersit rasa heran. Tapi
hanya sedikit, dan itu cukup membuat aku penasaran. Entah kenapa, aku jadi
deg-degan. Apa maksud pria itu memberikan nomor handphone-nya? Ah, yang pasti
hanya keusilan seorang pria terhadap wanita. Klasik.
Tapi
aku penasaran. Kucoba memandangi pria itu dari tempat dudukku. Aku bisa
melihatnya duduk bersama si pembawa pesan tadi. Mejanya sejajar lurus dengan
pandanganku dari sini. Kupandangi pria itu. Penampilannya biasa saja, juga
tidak terlalu tampan. Tapi saat tadi ia memesan minumannya, gaya bicaranya
cukup menarik. Tenang dan suaranya berat.
Jangan
langsung berpikir bahwa aku genit. Tolong dengarkan dulu alasanku. Pria dengan
cara berbicara yang tenang dan intonasi suara yang nyaman didengar, memang
selalu menarik bagi wanita. Lebih menarik dari pria yang hanya sekedar
mengandalkan tampang atau mobil pemberian orangtua. Aku harap ini cukup untuk
membuatmu mengubah pemikiran kalau aku berniat selingkuh dari Aldi. Tidak akan
pernah. Aku wanita yang sangat setia.
Kulanjutkan
kesibukanku, merapikan bon dan data keuangan. Aku hampir saja lupa, karena kejadian
tadi, hampir saja aku melewatkan salat ashar. Aku pun berdiri dari kursi kair
berniat untuk pergi ke mushola.
Sial,
aku tidang sengaja memandang ke arah meja itu. Ya, pria tadi. Ia kini
melambaikan tangannya ke arahku, seperti orang yang meminta tolong. Aku sedikit
kaget, aku takut ia tahu kalau beberapa saat tadi aku baru saja mengamatinya.
Semoga dugaanku salah.
Kuhampiri
mejanya dengan maksud sebagai kasir yang dimintai tolong oleh pengunjungnya,
tidak lebih. Tidak ada maksud lain, walaupun aku sedikit nervous.
“Kenapa,
Mas?”
“Ini
pesanan saya…”
Pasti
pria ini mau mengajukan komplain lagi gara-gara es campurnya yang belum juga
datang. Tapi sebelum selesai ia berbicara, seorang waiter datang membawa es
campur dan meletakkannya di meja itu. Dalam hati aku merasa lega.
Seketika
ia meneruskan perkataannya yang terputus, “Pesanan saya … es campur … kelihatan
enak, dan manis.”
Aku
menahan tawa, sambil melihat ekspresi wajahnya saat mengucap kata-kata yang
spontan ia katakan. Aku menggeleng sambil tersenyum. Kubalikan badanku dan
berniat ke mushola. Tapi sebelum aku berlalu, ia sempat berkata lagi, “… manis
seperti Anita.”
Aku
tertegun sejenak, untung saja aku sudah berbalik membelakangi mereka.
Kuteruskan langkah kakiku sambil me-rewind
perkataan terakhir pria itu di kepalaku.
Siapa
sih pria itu? Dia bilang aku manis?
Memang
bukan kali pertama aku dibilang manis oleh pria asing yang tidak kukenal. Hanya
saja kali ini berbeda, entah apa yang membedakannya, aku sendiri tidak tahu, yang
jelas berbeda. Ada sesuatu yang aku rasakan saat mendengar kata itu keluar dari
mulutnya. Memang aneh, tapi ya sudahlah.
Aku
harus bergegas ke mushola, waktu salat ashar sudah semakin sempit. Kuturuni
beberapa anak tangga menuju lantai bawah. Karena meja kasirku berada di lantai
atas, jadi aku harus sedikit berolahraga untuk sampai ke mushola.
Restoran
ini luas, bisa menampung lebih dari 300 orang. Konsep suasana alam yang dipakai
restoran ini membuat pemandangan terlihat sejuk, dikelilingi banyak tanaman
berwarna hijau dan bunga-bunga segar warna-warni. Kursi dan mejanya terbuat
dari kayu, dan dicat coklat, sehingga terasa begitu alami. Di lantai bawah ada
kurang lebih 50 meja untuk empat orang, berjajar dua baris membentuk huruf ‘L’,
ditambah 5 meja lesehan dibagian tengah yang dibuat seperti tenda-tenda, cukup
untuk sepuluh orang. Di lantai atas ada sekitar 25 meja yang tersusun rapi
membentuk huruf ‘U’. Suasana restoran ini memang cocok untuk tempat berkumpul
keluarga ataupun berpacaran. Ditambah lampu remang-remang yang diiringi
lagu-lagu lembut baik lokal maupun
mancanegara yang
selalu up to date untuk
diputar sepanjang hari. Memang tepat pamanku memberi nama restoran ini
‘Restoran Pohon Hijau’.
Aku
selesai menunaikan salat ashar dan langsung kembali ke meja kerjaku di lantai
atas. Sambil berjalan menuju kursi, sejenak aku melirik meja yang tadi di
tempati si pria misterius. Ah, kenapa aku jadi terus memantau dia?
Kulihat,
meja itu sekarang penuh dengan para pria seumurannya yang berpenampilan casual. Kalau aku
tebak, mungkin usia mereka sekitar 22 sampai 25 tahun. Mereka begitu
serius berbincang, seperti sedang mempersiapkan strategi perang. Kuamati
percakapan mereka, dan kulihat si misterius mendominasi percakapan, layaknya
seorang komandan yang memberi arahan kepada para pasukannya.
***
Waktu
beranjak cepat. Sudah masuk jam maghrib. Aku pun mengulangi ritual ibadah
seperti yang kulakukan tadi di waktu ashar. Termasuk, ritual olahraga naik
turun tangga. Setelahnya, kulihat ke arah depan restoran, lahan parkir semakin
sesak. Mobil dan motor mulai berdatangan. Waktu makan malam segera tiba. Aku
pun bersiap kembali ke meja kasir.
Sesekali
aku menerima dan menghitung uang para pengunjung yang mulai ramai di waktu
makan malam. Beberapa lama aku seperti itu. Kulihat jam tanganku, sekarang
sudah pukul 20.00. Aldi belum juga memberi kabar. Apa dia tidak akan
menjemputku malam ini? Mana mungkin.
Aku
benar-benar kaget ketika tiba-tiba pria misterius itu sudah berdiri di depan
wilayah kerjaku tanpa kusadari. Dia menyapaku, sambil merapatkan kedua telapak
tangannya lalu diletakkan di depan dadanya. Dia bermaksud ingin memberi salam
kepadaku. Tentu saja tidak ada lagi yang bisa aku lakukan selain melempar
senyum. Lagi-lagi senyum seorang kasir, tapi kali ini ditambah rasa gugup.
“Anita,
boleh minta waktunya sebentar?”
Aku
semakin gugup, bingung untuk menjawab pertanyaannya.
Kucoba
mengendalikan diri, dan dengan santai kujawab, “Ya, kenapa?”
Aah,
maafkan aku. Ini kesalahan di luar kesadaran. Seharusnya aku berkata, “Maaf,
saya sedang sibuk.”
Si
misterius itu melanjutkan ucapannya.
“Mungkin
ini sedikit sulit, tapi baiklah akan kucoba. Bismillahirahmanirrahim. Anita …
kamu wanita paling cantik yang pernah aku lihat.”
DEG!
Walaupun sudah kuduga dia akan berkata sesuatu yang menunjukkan
ketertarikannya, tetap saja aku kaget. Aku tidak sampai menduga kalau pria ini
akan secara frontal
mengatakan aku wanita paling cantik. Aku hanya bisa diam. Dia kemudian
meneruskan perkataannya.
“Aku
ingin mengenal kamu, dan aku tidak mau kita lost contact. Jadi
silakan hubungi aku saat kamu mengingat momen ini. Simpan nomor tadi baik-baik.”
Begitu
santainya ia berbicara, seolah tidak ada beban atau ketakutan akan respon buruk
yang mungkin akan aku lontarkan. Ekspresinya mukanya datar, tapi sorot matanya
begitu tajam. Membuat aku semakin gugup. Suaranya begitu jelas, lancar, dan
tenang, tidak terdengar bergetar atau grogi. Biasanya, para pria yang memujiku
atau mencoba mengajakku berkenalan selalu terlihat gugup, suaranya kecil, juga
terbata-bata. Tidak ketinggalan pandangan mereka yang menunduk atau loncat ke
sana ke mari tanpa fokus.
Tapi
ini lain. Dia benar-benar berbeda dari kebanyakan pria yang akui temui. Kedua
matanya fokus menatap tajam tepat ke arah kedua mataku. Entah bagaimana dia
bisa melakukan semua hal itu. Ya Tuhan, aku harus menjawab apa? Aku serasa
menerima sihir yang melumpuhkan sistem syaraf motorik di seluruh organ tubuhku.
Untungnya
sistem autopilot dalam
otakku berfungsi normal. Sehingga aku bisa secara otomatis merespon
perkataannya.
“Maaf,
Mas, lain kali saja. Terima kasih atas kunjungannya ke restoran ini.”
Aneh!
Pria ini memang aneh. Mendengar penolakkanku, wajahnya tetap datar, tidak ada
kekecewaan tersirat diraut wajahnya. Dia masih tetap memandang mataku dengan
sorotnya yang tajam.
“Aku
yakin, suatu saat kamu akan menghubungiku. Sampai bertemu, Anita.”
Dia
berbalik dan mengambil langkah untuk meninggalkanku yang masih tertegun dengan
ucapannya.
Sebentar,
serangan ini belum selesai. Sebelum aku sempat meresapi apa yang baru saja aku
rasakan beberapa detik tadi, ia kembali membuatku kaget dengan membalikkan
badannya dan menghampiriku lagi.
“Oh
ya, satu lagi. Ada titipan salam dari Fiona Azmi dan Muhammad Rizal.”
Spontan
aku melipat kening bersamaan dengan kedua alisku yang merapat. Sama sekali aku
tak mengenal kedua nama itu. Kuabaikan saja ucapannya tanpa menjawab satu kata
pun.
Pria
itu kembali meneruskan perkataannya.
“Mereka
… calon anak-anak kita.”
JLEB!
Tubuhku serasa terkena tombak. Dadaku bergetar seolah terkena sengatan listrik
bertegangan tinggi. Aku shock, sungguh.
Dengan sangat perlahan aku mengangkat pandanganku. Saat tubuhku mematung, ia
berlalu dan menghilang dari pandanganku.
***
Jam
sepuluh tepat. Restoran sudah tutup dan Aldi sudah berada di depan restoran
untuk menjemputku. Selama dua puluh menit di perjalanan pulang, Aldi bercerita
tentang nasabahnya yang ramah dan suka bercanda. Ia sesekali mengajakku
tertawa, namun aku hanya senyum dan sedikit berbicara. Sampai tiba di rumah,
Aldi pamit untuk langsung pulang dan menyarankanku untuk segera beristirahat.
Standar
memang. Entah sudah berapa ribu kali dalam berpacaran, seorang kekasih
mengingatkan jangan lupa makan dan jangan tidur terlalu malam, yang diakhiri
dengan panggilan sayang. Memang ini bagian yang membosankan dari seorang Aldi.
Namun terkadang aku pun membutuhkan ucapan seperti itu. Ya, wanita … memang
terkadang bingung sendiri tentang apa yang ia inginkan.
Aku
segera masuk rumah. Di sini aku tinggal bersama Ayah, Ibu, dan sepupuku Lulu
yang beberapa waktu lalu resmi menjadi penghuni rumah ini. Di kamar, aku
kembali mengingat kejadian tadi sore di restoran tentang pria misterius itu.
Ucapan terakhirnya masih terngiang di telinga. Amat sangat jelas.
“Ada
titipan salam dari Fiona Azmi dan Muhammad Rizal. Mereka, calon anak-anak kita.”
Beberapa
menit aku terus memikirkan ucapan itu, sampai perhatianku teralih ketika pintu
kamarku diketuk dari luar.
“Kak,
udah tidur belum?”
Itu
Lulu. Kupersilahkan dia masuk. Mungkin itu bisa membuat pikiranku terhenti
membayangkan pria misterius tadi sore. Dia langsung menyambar guling yang
tergeletak di sampingku.
“Kak,
tahu nggak, tadi dikampus ada lelaki ngajak aku kenalan. Katanya dia udah lama
merhatiin aku tapi baru sekarang dia berani ngajak kenalan. Namanya Ronald, ya
lumayan ganteng sih, Kak.”
“Terus,
respon kamu gimana?”
“Ya
aku sih welcome aja,
Kak. Lagian enggak ada salahnya kan nambah kenalan. Urusan dia suka sama aku atau
aku suka sama dia itu urusan belakangan. Yang jelas, aku ingin tahu dulu lelaki
itu orangnya seperti apa. Tapi kayaknya dia orangnya baik, Kak, ramah gitu.”
“Kamu
yakin ngasih kesempatan sama orang yang tiba-tiba ngajak kenalan gitu? Enggak
takut kalau mungkin dia ada maksud buruk sama kamu?”
“Ya
enggaklah, Kak. Kalaupun nantinya ternyata dia punya maksud buruk, ya aku bisa
langsung berhenti ngenal dia dan jauhin dia kan. Kakak ini ah, parno.”
“Terus,
dia ngasih nomer HP-nya enggak?”
“Enggak
sih, tapi dia yang minta nomer aku. Katanya tadi dia bakal hubungi aku. Tapi
aku tungguin sampai sekarang belum ada tuh. Aku yakin, dia pasti bingung mau
mulai hubungi aku dengan cara gimana. Atau dia masih ngumpulin nyali. Hehe.
Yah, palingan besok ketemu lagi di kampus. Eh, Kakak sendiri gimana hari ini
kerjanya? Ada yang seru enggak?”
“Eh,
ah, engga. Engga ada kok. Ya biasa aja gitu.”
“Ada
laki-laki yang deketin Kakak ya? Hayoh ngaku.”
“Kamu
ini. Enggak ada kok, ya mereka tahu kan Kakak suka diantar jemput sama Aldi,
jadi mereka tahu kalau Kakak punya pacar.”
“Iya
juga sih ya. Yaudah, Kak, aku ke kamar ya. Mau langsung tidur. Nanti aku cerita
lagi deh tentang Ronald. Selamat tidur, Kakak.”
Apalagi
ini? Kenapa kebetulan sekali dengan yang aku alami hari ini? Tapi sedikitnya
Lulu benar, bagaimana aku bisa menilai orang sebelum aku mengenalnya. Tapi ya
sudahlah, mungkin pria misterius itu hanya cowok iseng yang suka bikin sensasi.
Lagi pula kecil sekali kemungkinan aku bisa bertemu lagi dengannya. Semoga
besok jadi hari yang menyenangkan, tidak seperti tadi. Aku tidur saja.
[BERSAMBUNG]
- Anggriawan Kingdom -