Laman

12 Maret 2016

AKU HANYA BIAN

[CHAPTER 1]


Hari itu sangat panas. Entah cuacanya atau hanya perasaanku saja. Yang jelas saat itu aku sangat berkeringat.

Aku baru ingat sekarang. Saat itu, tahun 2007, bulan Januari, tepatnya hari Rabu, entah tanggal berapa, aku baru saja selesai mengikuti mata pelajaran Penjaskes di SMA.
Di sinilah kisah itu dimulai.

Setelah mengganti kaus olahraga yang berwarna white navy itu dengan seragam putih-abuku yang ngetat, aku mengistirahatkan badanku sambil meminum air mineral gelas yang kupinta dari Maman. Dia sahabat sekelasku sejak kelas 1 sampai sekarang di kelas 3 IPA.

Suasana di kelas masih santai, karena masih ada waktu sekitar dua puluh menit sebelum mata pelajaran selanjutnya dimulai. Aku duduk di bangku siapa saja yang aku suka karena memang belum ada yang menempatinya. Masih pada di luar.

"Yang halaman tiga puluh dua udah dikerjain belum?"
Terdengar salah satu penghuni kelas kami sedang membicarakan PR biologi dengan teman sebangkunya.
"Boro-boro. Soal nomer dua aja aku bingung, apalagi halaman tiga puluh dua," sahut temannya itu.

Dia adalah Mutia. Cewek tinggi langsing, pakai kacamata, dan agak cantik. Rambutnya panjang lumayan pirang, entah dari sananya atau pake cat rambut sachet. Yang aku tahu dia tidak pintar, malah terbilang o'on. Aku serius! Dia penghuni peringkat sepuluh besar terbawah. Iya si Mutia itu.

Mutia adalah wanita yang belum mengerjakan PR. Sedangkan yang tadi bertanya, aku beritahu kamu. Dia adalah pacarku, tepatnya sebulan kemudian. Namanya Syifa. Syifa Aulia. Wanita yang menurutku lucu, ceria, ramah, sopan, dan orang-orang mengakui dia cantik. Apalagi setelah dia menjadi pacarku.

Saat ini aku sedang suka pada Syifa. Kau tahu kenapa? Karena dia wanita. Itu alasan biologisnya. Sedangkan alasan lainnya, aku beritahu saja, karena dia cewek alim, solehah, pakai jilbab. Entah kenapa aku suka. Perlu kau ketahui, aku ini anak nakal dengan prestasi yang baik di sekolah. Bandel tapi pintar (dan narsis). Guru-guru pun sudah memaklumi hal itu. Termasuk guru BK dan Kepala Sekolah.

Aku terkadang menggoda Syifa saat pelajaran berlangsung. Memanfaatkan kebaikan Dedi dan Ardi untuk bertukar bangku, karena bangku Syifa dan Mutia tepat berada di depan bangku mereka. Kadang Dedi yang pindah, dan aku sebangku sama Ardi. Kadang Ardi yang pindah, dan aku sebangku sama Dedi. Mereka pun sahabat-sahabatku dari kelas satu. Seperti Maman juga, Dadan juga, Septo juga. Kami satu geng, sampai dikenal guru sejarah sebagai 'boyband', karena geng kami cukup tenar di sekolah akan kegilaannya, kelucuannya, termasuk kekerenan, dan kegantengan kami. Terutama Ardi, dia yang paling banyak digandrungi wanita. Dari sudut utara sekolah, sampai ujung kantin di selatan. Dari anak kelas 1, 2, 3, sampai guru muda pun tertarik.
Iya, Ardi, aku akui kamu ganteng dan keren, aku di peringkat kedua.

Tidak ada yang tahu aku sedang suka sama Syifa, termasuk Maman, Dedi, Ardi, Dadan, juga Septo. Juga guru sejarah tadi. Aku hanya beberapa kali pernah ngobrol dengan Syifa. Tiga kali pinjam penghapus, satu kali pinjam pulpen dan tidak aku kembalikan sampai tintanya habis. Lalu berkali-kali saat dia menagih uang kas kelas. Syifa adalah bendahara di kelas kami.

Teman-teman boyband-ku juga sering menggoda Syifa, sama sepertiku. Hanya bedanya aku menggoda dia sambil diam-diam menyimpan misi rahasia. Aku pun semakin akrab dengan Syifa, bercanda dan tertawa, walau terkadang dia kesal dan jengkel karena aku sering mengejeknya, tapi dia pun terhibur.

Aku sangat ingat jelas ketika mata pelajaran bahasa Inggris di kelas kami. Saat itu aku dan Ardi duduk di belakang bangku Syifa dan Mutia. Kami sesekali mengganggu mereka dari belakang. Sambil pura-pura menyimak pelajaran, aku sering mengajak Syifa bicara dari belakang, dengan tubuh dan wajahnya tetap menghadap papan tulis, namun sesekali dia menoleh ke belakang sambil tertawa kecil atau sekedar memamerkan senyum lucunya.

"Aku tau sekarang kenapa kamu pake jilbab," kataku mulai bercanda lagi.
Dia menoleh penasaran, "Kenapa?"
"Pasti karena kamu botak, ngaku aja."
"Iiiih, dasar. Rambut aku bagus tau! Makanya sayang kalo dipamer-pamerin," jawabnya dengan nada manja.
"Aku enggak percaya. Coba buktiin," kataku sedikit menantang.
"Yaa ... masa mau dibuka di sini. Enggak boleh," jawab Syifa sambil merapikan jilbabnya yang sebenarnya sudah sangat rapi.
"Lalu, gimana aku bisa percaya?" tanyaku lagi.
"Ntar kapan-kapan kalo kamu kebetulan liat rambut aku, hahaha."
"Kalo lagi di rumah kamu pake kerudung juga?
"Ya enggak lah, masa aku tidur pake jilbab."
"Kalo gitu aku harus ke rumah kamu," ucapku spontan.
"Ih ngapain?"
"Buktiin kalo kamu gak botak."
"Hehehe, dasar."
Dia cuma senyum tanpa memberi jawaban boleh atau tidak. Aku anggap saja senyuman itu mengisyaratkan boleh.
"Pinjem buku kamu sini," lanjutku berbicara saat kurasa Bu Diah, guru bahasa Inggris, kini mendekat ke arah kami berdua.
"Yang mana?" tanya Syifa.
"Yang kamu pegang, cepetan!"

Sejak tadi Bu Diah sudah memantau kami. Dan jika dia tahu aku tidak memperhatikan apa yang sedang dibahas di buku setebal 350 halaman itu, habislah aku. Buku bahasa Inggrisku ketinggalan. Lebih tepatnya sengaja tidak dibawa. Tasku tidak muat. Maklum, aku hanya memakai tas selendang kecil yang cuma muat dua buku tulis, dua LKS yang dilipat horizontal, dan satu buku diariku. Sisanya aku selalu titip ke Maman atau Septo. Itu berlaku untuk semua mata pelajaran, tanpa kecuali.

Benar saja, Bu Diah berjalan menuju meja kami.
"Halaman berapa, Di?" bisikku ke Ardi sambil segera membuka lembaran buku yang aku pinjam tadi.
Bu Diah semakin mendekat.
"Tujuh delapan, Bro," bisik Ardi.
"Bian, buku siapa itu? Buku kamu mana?" tanya Bu Diah sinis saat tiba di hadapanku. Sekarang ia berdiri di sampingku sambil menatap tajam.
Aku senyum kecil untuk ngeles, "Bu-bukunya.. Sy-Syifa, Bu. Punya saya enggak dibawa sama Septo, minggu kemarin dipinjam, belum dikembalikan."
"Benar, Septo?" tanya Bu Diah mengonfirmasi alasanku.
Septo jelas-jelas mendengar kebohonganku karena dia berada di samping bangkuku dan Ardi.
"Enggak, Bu. Kenapa nyalahin aku, Yan?"
Ah Septo, awas kau! Kugunduli habis rambut keritingmu nanti. Aku kira kau akan membelaku.
Aku memalingkan muka dari tatapan Bu Diah, sebelum mata tajamnya menyorotku lagi.
"Halaman tujuh delapan kan, Bu. Ini saya sedang memperhatikan." Aku mencoba mengalihkan perhatian Bu Diah. Wanita tua berkacamata dan berjilbab itu menggelengkan kepala menghadapi kelakuanku.
"Lain kali, kamu..."
"Iya, Bu. Iya... Lain kali saya bakal ngingetin Septo jangan lupa ngembaliin buku saya. Mari kita lanjutkan pelajarannya, Bu."
Lagi-lagi ibu guru itu menggeleng kesal. Akhirnya Bu Diah mengalah sambil menghela napas dan kembali ke depan kelas. Teman-temanku tertawa cekikikan, termasuk Syifa. Dia terus tertawa sambil senyum melihatku. Kupandang wajahnya, aku pun tersenyum lalu tertawa.

Aku mengembalikan buku Syifa setelah jam pelajaran selesai. Tadi itu pelajaran terakhir di hari Kamis ini.
"Nih, buku kamu. Hati-hati nyimpennya."
"Kok hati-hati?" Syifa kebingungan, keningnya mengerut.
"Hati-hati entar dipinjem Septo, ga bakal dibalikin."
"Hahaha, dasar. Kamu ya, lempar batu sembunyi tangan. Temen sendiri difitnah. Gak boleh gitu."
Kupasang wajah sok tegas untuk membela diri. "Aku cuma ngetes solidaritasnya aja, ternyata dia pengkhianat. Dia dipihak Bu Diah."
"Makanya ... bawa buku. Jangan bandel," kata Syifa memperingatkanku.
"Oh iya, bukunya tadi aku coret nama kamunya terus aku ganti pakai nama aku. Aku panik."
"Eh, dasar nyebelin. Mau ngaku buku ini milik kamu gitu?"
"Tadinya sih begitu," jawabku.
"Terus kenapa gak jadi?"
"Hal yang bersangkutan dengan kamu, aku harus jujur."
Sesaat Syifa terdiam. "Mmm... Kenapa?
Kuambil tas kecilku lalu bangkit hendak meninggalkan Syifa. Setelahnya aku berkata dengan datar. "Kamu bakal tau nanti malem."
Kulangkahkan kaki dan berjalan menuju pintu kelas. Meninggalkan Syifa yang mungkin masih penasaran. Ia mencoba memanggilku terus-menerus.
"Hey, mau kemana ih? Kok nanti malem? Biaaaan! Hey!"

Kuabaikan suaranya dan terus berjalan menjauh, biar keliatan keren. Para boyband pasti sudah berada di luar gerbang sekolah menungguku. Aku pun segera menyusul mereka.

Kau tidak tahu. Sebenarnya aku coret nama Syifa Aulia di buku itu dan kuganti dengan nama Rayya Albian, lalu dibawahnya kutulis deretan angka : 085222145146. Itu nomor HP-ku. Aku yakin malam ini Syifa pasti menghubungiku. Kita tunggu saja.

[CHAPTER 2]


Hari Jumat. Batik menguasai seluruh penjuru sekolah. Selesai menyimak pelajaran kimia favoritku, aku dan Maman beranjak ke toilet. Bukan untuk buang air kecil. Kami lebih sering menggunakan toilet sebagai tempat untuk memperbaiki penampilan. Merapikan pakaian, membasahi rambut, dan bercermin. Semua orang ingin terlihat menarik bukan? Tidak cuma perempuan.

Aku dan Maman kembali ke kelas setelah membeli beberapa cemilan dari kantin. Hari ini aku sebangku dengan Dedi. Kau pasti tahu maksudku. Tentu saja untuk bisa berdekatan dengan Syifa.

"Tadi malem sibuk banget ya?" tanya Syifa saat aku kembali ke tempat duduk.
Suara lembut itu menghentikan gerakan mulutku yang sedang mengunyah keripik pedas.
"Jadi yang semalem SMS itu kamu?" kataku berpura-pura. "Gak sibuk sih cuma lagi enggak punya pulsa."
"Oh, kirain lagi sibuk."
"Aku kira kamu bakal nelepon," ucapku kemudian.
"Ih ngapain? Masa cewek yang nelepon."
"Emang HP cewek gak ada fitur panggilan keluarnya?" kataku polos.
"Hehehe, bukan gitu. Yaa malu aja."
"Malu kayak kucing"
"Hehe, tapi kucing kan lucu."
"Kamu suka kucing?" tanyaku.
"Iya, kamu?"
"Nggak."
"Kenapa?"
"Kucingnya yang suka sama aku."
"Hahaha, dasar Bian."

Tadi malam, seperti yang sudah kuduga. Syifa mengirim SMS ke nomor yang aku tulis kemarin di buku bahasa Inggrisnya :

"Malem Bian, lagi ngapain nih?"

Aku sengaja abaikan SMS itu. Dan beberapa menit kemudian SMS berikutnya masuk :

"Kamu lagi sibuk ya? Yaudah kalo gitu ntar aja di sekolah ngobrolnya."

Bagiku, ini salah satu sinyal kalau Syifa mengizinkanku untuk mendekatinya. Atau... Ini sinyal yang berarti aku harus mengizinkannya untuk mendekatiku. Aku lebih suka kemungkinan yang kedua.

Pelajaran selanjutnya dimulai, dan semua murid di kelas sangat senang. Kau tahu kenapa? Kabarnya, Pak Suryono guru matematika kami tidak bisa hadir. Beliau hanya memberikan amanat untuk kami mengisi LKS halaman 24 dan 25 soal latihan pilihan ganda nomor satu sampai tiga puluh.

Ah, aku selalu menyukai ini. Pikiranku langsung berkata, "Ini waktu yang tepat untukku lebih dekat dengat Syifa. Soal matematikanya urusan belakangan. Lagian cuma pilihan ganda, dua menit juga selesai. Nyalin punya Maman."

Kubuka sebuah percakapan yang langsung disambut oleh kerutan di dahi Syifa.
"Syifa, kamu suka bawa dompet ke sekolah?"
"Dompet?" tanyanya heran.
"Aku bukan jambret, kan? Santai aja."
"Bawa, emang kenapa?"
"Aku tebak, pasti kamu suka nyelipin kertas kecil di dompet, semacam catatan pribadi."
"Mmm, sok tau. Enggak ada tuh."
"Kita liat."

Syifa membuka tasnya dan mengambil dompet berukuran kecil warna putih bermotif bunga-bunga.
"Paling yang ada di dompet aku cuma ... uang ... foto... Itukan benda yang pasti ada dompet. Enggak ada yang aneh kok."
"Masa sih? Coba liat di sebelah sini kamu nyimpen apa aja.
Aku mencabut satu benda yang terselip di dompetnya.
"Nah, kok cuma ini? KTP, Kartu Tanda Pelajar."
"Ah, jangan diliat! Malu..." Syifa spontan menarik tanganku yang masih memegang kartu identitas itu. Tapi gerakan tanganku lebih cepat. KTP itu sudah berpindah dari tangan kananku yang tengah dicengkram Syifa ke tangan kiri.
"Tunggu dulu. Aku liat bentar," kataku membujuk.
Ia pun berhenti dari usahanya. Kuamati benda tipis itu sambil memasang raut seperti orang keheranan dengan sesekali menoleh ke arah Syifa.
"Kenapa? Muka aku disitu beda ya?"
Memang, semua orang pasti bertanya seperti itu jika ada yang sedang mengamati kartu identitasnya, terutama wanita. Padahal aku cuma berpura-pura. Aku sama sekali tidak sedang mengamati wajahnya di KTP. Tapi justru sedang menghafal tulisan di kolom tempat tanggal lahir : 21 Februari 1991.

Kukembalikan KTP-nya sambil berkomentar, "Iya beda, muka kamu di sini keliatan lebih muda."
"Maksudnya? Yang aslinya tua gitu?" timpalnya tidak puas dengan komentarku barusan.
"Enggak sih..." jawabku kemudian.
Kuputar sedikit badanku sehingga benar-benar berhadapan lurus dengannya. Perlahan kudekatkan mulutku ke telinganya dan berbisik, "Cuma keriputnya banyak."

PLAKK!! Satu pukulan keras mendarat di bahu kananku. Syifa memukulku sambil cemberut, namun  dibarengi senyum manisnya sedetik kemudian. Ah, ini sinyal berikutnya! Pukulan dari wanita seperti itu bukanlah sebuah kemarahan. Justru itu adalah tanda dari ketertarikannya. Memang wanita secara tidak sadar akan memukul, mencubit, atau mungkin menjambak pria yang sedang menggodanya jika dia senang dengan hal itu. Coba saja tanyakan kepada ibumu saat dia masih muda.

Misi pun berhasil. Sekarang aku tahu ulang tahun Syifa, 21 Februari.
Tunggu, 21 Februari? Astaga, lima hari lagi. Kebetulan sekali. Setidaknya aku sudah tahu hari spesial itu meskipun aku belum memiliki ide apa pun untuk menyiapkan kejutan di hari itu, tepatnya hari Rabu depan.

[BERSAMBUNG]

- Anggriawan Kingdom -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar