Laman

17 Maret 2016

NEMBAK? EMANG HARUS?

Memang benar, ini salah satu keindahan. Mungkin mereka tidak pernah menyadarinya. Biar saja. Aku tak ingin membagi pada dunia. Tidak untuk saat ini. Aku ingin untuk tidak berlari. Tidak juga menghampiri. Hanya ingin tetap di sini, dengan senyuman itu setiap hari.

Cengeng!

Tak apa. Kau belum paham. Terserah bagaimana kamu menilainya.
Entahlah, aku sendiri kacau. Kenapa saat itu kamu tiba-tiba menyusup ke dalam kerumunan kami di dalam kelas, saat jam pelajaran masih kosong. Lalu memberi aba-aba yang menjadikan aku salah tingkah.

"Nanti pulang sekolah ke rumahku, yuk!"

Mereka menyambut tawaranmu dengan berseri. Wildan, Adi, Citra, semua kompak. Apalagi Tiara, dia selalu terdepan kalau urusan kumpul-kumpul. Juga Cepi yang segera mengusulkan agar kalian para cewek masak bersama, dan kami para cowok menunggu di ruang tengah rumahmu sambil bermain gitar, atau memantau ke arah depan teras rumah, untuk memastikan sepatu kami tidak ada yang hilang.

"Bagaimana, Dika? Mau kan?" Tanya tiara menunggu persetujuanku.
"Baiklah," jawabku singkat.

Boleh saja ucapan di mulut terdengar ringan, namun dadaku mulai bergetar.

Aku mengintip sela-sela bibirmu. Sial, kau memergokinya! Dengan sekejap, otot di sekitar pipi dan bibir itu langsung kau tarik berlawanan arah, membentuk satu gurat senyum. Ah, aku semakin terpukau. Biasanya aku tak gemar menatap senyummu. Namun kau memulainya. Maka kali ini kucoba membiasakan diri.

Kau segera berlalu meninggalkan kerumunan. Katamu ingin bergegas ke toilet.
"Ikut!" teriak Citra spontan.
Lalu kalian berdua berjalan membelakangi kami. Yang lain sudah kembali membahas obrolan sebelumnya soal ulangan Fisika esok hari. Aku malah masih fokus memperhatikan punggungmu. Serta rambut yang tergerai lurus itu.

Jika saja kemarin malam kau tak mengirimkan pesan itu, aku pun akan bereaksi normal tadi. Jadi sudah pasti, itulah penyebabnya.

"Hey, lagi apa? Tadi kamu keliatan keren loh di depan kelas waktu pelajaran seni musik, hehe. Sayang kerennya mubazir, gak punya pacar sih"

Semula aku bersikap normal. Tentu saja, karena memang tidak ada apa pun di antara kita. Kau dan aku. Jadi apa yang perlu dibahas? Tidak ada yang istimewa sebenarnya. Tiga bulan lalu kita sama-sama menempati kelas baru. Kau berasal dari kelas X-3 dan aku dari X-2. Lalu sekolah memaksa kita terjebak dalam satu kelas, XI IPA 2. Sebenarnya aku pun tidak yakin, mungkin karena kebiasaanku yang mudah berinteraksi dengan orang baru, atau mungkin karena sapaan lembutmu pertama kali  yang berujung dengan acara tukar kontak waktu itu, akhirnya kita pun mulai akrab.

Jelas aku masih ingat, bagaimana ucapanmu yang sedikit berbisik itu mengakhiri obrolan pertama kita.

"Ada nomor HP? Minta dong."

Semuanya sangat datar. Sama sekali tidak ada yang istimewa. Tak ada respons berarti yang kuberikan selain menuliskan nomor pribadiku di handphonemu. Menurutku, ini hanyalah pertemanan yang wajar.

Memang sebelumnya aku sempat mengenalmu saat kita masih sama-sama duduk di kelas X. Tepatnya ketika Wildan bercerita bahwa ada siswi penghuni kelas sebelah yang penampilannya sangat mencolok. Sepatu hitam pekat, jaket kulit robek-robek, juga gaya rambut harajuku yang kontras dengan guratan cat warna merah di ujung poni. Informasi itulah yang kudapat dari sahabatku. Sejak saat itu, Wildan pun sering menyetor cerita lanjutannya tentang keberadaanmu. Dan yang membuatku tergerak untuk mengintaimu adalah kalimat tambahan Wildan yang menggantung di sela-sela pembicaraan kami.

"Gue liat-liat sih.. Anaknya lumayan manis."
 
Pada detik itulah aku mulai penasaran. Perempuan macam apa yang Wildan perhatikan selama ini, sih? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar